*Tanpa program penanggulangan yang konkret penyebaran HIV/AIDS ibarat 'bom waktu' ....
Dalam Laporan Perkembangan HIV/AIDS dan lnfeksi Menular Seksual (IMS) Triwulan IV Tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes RI, Â tanggal 28 Februari 2019 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sd. 31 Desember 2018 adalah 441.347 yang terdiri atas 327.282 HIV dan 114.065 AIDS dengan 16.473 kematian.
Yang perlu diingat adalah jumlah kasus yang dilaporkan (441.347) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (441.347) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya kasus yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Tingkat penyebaran kita besar karena ada laki-laki pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi mempunyai istri lebih dari satu serta pasangan seks lain dan ada pula yang seks dengan waria.
Beberapa daerah sesumbar tahun 2030 bebas AIDS. Ini mimpi dan utopia karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat. Estimasi yang dikeluarkan oleh UNAIDS (Badan PBB untuk HIV/AIDS) pada tahun 2016 ada 620.000 kasus HIV/AIDS di Indonesia dengan estimasi terendah 530.000 dan estimasi tertinggi 730.000. Infeksi HIV baru diperkirakan 48.000 per tahun dengan estimasi terendah 43.000 dan tertinggi 52.000 (unaids.org). Sedangkan yang terdeteksi sampai 31 Desember 2018 baru 441.347 sehingga ada kasus yang tidak terdeteksi antara 88.653 -- 266.563.
[Baca juga: Khayalan, Jakarta Zero AIDS Tahun 2030 dan Kota Jayapura Bebas HIV/AIDS 2030, Mengumbar Mimpi dan Utopia]
Selain itu tidak ada pula program yang riil untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Menteri Kesehatan RI, dr Nafsiah Mboi, mengatakan sampai akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4-2013). Celakanya, 4,9 juta laki-laki pelanggan PSK itu mempunyai istri.
Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang pada gilirannya disebarkan ke masyarakat. Bagi yang beristri menularkan ke istri atau pasangan seks lain.
Jika istri tertular HIV ada pula risiko penularan HIV ke bayi-yang-dikandung si istri, terutama saat persalinan dan menyususi dengan air susu ibu (ASI). Celakanya, tidak ada mekanisme yang konkret tanpa melawan hukum dan melanggar HAM untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Maka, risiko bayi lahir dengan HIV/AIDS juga besar.