"Penyebab Terbesar Penularan HIV/Aids di DIY Karena Faktor Seks Bebas" Begitulah judul berita di jogja.tribunnews.com (21/3-2019).
Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia jargon 'seks bebas' jadi bahan orasi (moral) yang selalu dikait-kaitkan dengan penularan HIV/AIDS. Padahal, jargon ini ngawur bin ngaco karena merupakan terjemanan bebas dari 'free sex' yang justru tidak terdapat dalam kosa kata Bahasa Inggris yang baku. Cobalah cari di kamus-kamus Bahasa Inggris, tidak ada laman (entry) free sex.
[Baca juga: 'Seks Bebas' Jargon Moral yang Menyesatkan dan Menyudutkan Remaja dan 'Seks Bebas' Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur]
Kalau yang dimaksud 'seks bebas' dalam (judul) berita itu adalah berzina atau melacur, maka pernyataan tsb. tidak benar karena risiko penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).
Sedangkan melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa kondom adalah perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena PSK adalah orang yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV karena melakukn hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom.
Sekretaris KPA DIY, Riswanto, mengatakan: "Dibandingkan dengan tahun lalu, kenaikan pengidap penyakit ini (melalui hubungan seksual-pen.) mencapai 200 hingga 300. Kalau naik pasti naik terus."
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 21 Desember 2018, disebutkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di DI Yogyakarta 6.790 yang terdiri atas 5.351 HIV dan 1.439 AIDS.
Adalah hal yang realistis hubungan seksual sebagai faktor risiko terbanyak dalam kasus penularan HIV/AIDS di DI Yogyakarta, bahkan di seluruh dunia, karena setiap hari banyak yang melakukannya dan frekuensinya pun sering. Sedangkan faktor risiko lain, seperti transfusi darah, kecil karena sedikit yang melakukan transfusi dan darah yang ditransfusikan sudah diskirining (HIV) oleh PMI.
Disebutkan dalam berita bahwa prostitusi marak di wilayah DI Yogyakarta. Celakanya, prostitusi itu terjadi di sembarang tempat dan sambarang waktu dengan berbagai macam modus, bahkan memakai media sosial.
Kondisi itu menghadapi persoalan besar karena tidak bisa dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini terjadi karena transaksi seks sebagai bentuk pelacuran tidak dilokalisir.