Sampai saat ini sekitar 6.000 -- 8.000 jenis penyakit langka sudah dikenal secara medis yang terdeteksi pada 350 juta warga Dunia. Penyakit langka adalah penyakit yang mengancam jiwa dan menurunkan kualitas hidup penderitanya dengan angka kejadian yang rendah yaitu di bawah 2.000 kasus dari populasi. Sekitar 80 persen penyakit langka terjadi karena kelaian genetik.
Di Indonesia, seperti dikatakan oleh DR Dr Damayanti Rusli Syarif, SpA (K), Dokter Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak RSCM, pada acara "Formula Medis Khusus untuk Anak Penyakit Langka" di Gedung IMERI FKUI, Jakarta Pusat (13/3-2019) bukan tidak ada penderita penyakit langka, tapi "Tidak punya label." Artinya, penyakit-penyakit langka tsb. tidak dikenal sehingga tidak ada nama penyakitnya. Ini terjadi al. karena keterbatasan laboratorium dan tidak ada program skrining pada bayi yang baru lahir (newborn screening). Langkah ini sudah lama dijalankan di beberapa negara, seperti Jepang dan Malaysia.
RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, lebih dikenal sebagai RSCM, sudah berhasil mendiagnosis dan menangani beberapa jenis penyakit langka, yaitu: fenilketonuria, maple syrup urine disease, isovaleric academia.
Selain pencegahan, penanganan dan perawatan anak dengan penyakit langka jadi tantangan besar di Indonesia karena balita yang lahir dengan penyakit langka adalah nutrisi khusus yang dikenal sebagai nutrisi medis atau orphan food yaitu pangan olahan dengan formula medis berupa makanan cair dan padat khusus untuk dikonsumsi balita dengan penyakit langka sebagai terapi atau nutrisi pendukung. Jika anak-anak dengan penyakit langka tidak mendapat orphan food maka proses tumbuh kembang mereka terhambat, stunting (tinggi dan berat badan tidak memenuhi ukuran yang normal) bahkan kematian.
Pemberian nutrisi sebagai terapi dan pendukung jadi faktor utama untuk memberikan kesempatan tumbuh kembang balita dengan penyakit langka secara optimal. Untuk itulah DR Damayanti dengan rekan-rekan di RSCM dengan Human Genetic Researc Cluster IMERI FK UI serta Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia menggencarkan edukasi tentang kebutuhan anak-anak dengan penyakit langka untuk mendukung tumbuh kembang yang optimal demi masa depan anak-anak dengan penyakit langka.
[Baca juga: Kecukupan Nutrisi pada "1000 Hari Pertama Kehidupan" Cegah Stunting]
Terkait dengan Hari Penyakit Langka Sedunia (Rare Disease Day) yang diperingati secara global tiap tanggal 28 Februari, Peni Utami, Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, berupaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang penyakit langka, penanganan dan kebutuhan nutrisi. Memenuhi nutrisi anak-anak dengan penyakit langka yang tepat pada 100 HPK merupakan masa terbaik untuk mendukung tumbuh kembang anak-anak tsb. Dalam bahasa Dr Damayanti dengan meningkatkan kemapuan otak anak-anak dengan penyakit langka prestasi mereka bisa seperti anak-anak tanpa penyakit langka. Ada anak-anak dengan penyakit langka yang setelah dewasa menyelesaikan kuliah sebagai arsitek, dosen, dll.
Rachel, misalnya, yang didiagnosis MPS 4, dengan homeschooling gadis cilik ini sekarang dia ada di kelas lima SD pada usia 11 tahun. Hanya saja ibunya, Riana Aritonang, 38 tahun, tidak bisa memberikan obat yang optimal karena harganya Rp 6 miliar untuk konsumsi satu tahun. Obat ini diminum seumur hidup. Ada donor yang memberikan obat ini gratis pada tahun pertama, tapi tahun-tahun berikutnya harus menyediakan dana 10 persen atau Rp 600 juta.
Kabarnya, pemerintah, dalam hal ini Menkes, menolak mengatasi nutrisi medis bagi anak-anak dengan penyakit langka karena harganya yang mahal. "Biaya untuk satu saja saja sudah bisa untuk pengobatan banyak anak," kata seorang ibu anak dengan penyakit langka menirukan penjelasan Menkes Nila F Moeloek. Padahal, pemerintah sendiri mulai tahun ini membeli obat antiretroviral (ARV) dengan dana APBN sebesar lebih dari Rp 1 triliun sehingga pengidap HIV/AIDS mendapat obat ARV secara gratis.
Bagi DR Damayanti pemenuhan nutrisi pada anak tanpa penyakit langka dan dengan penyakit langka sama saja karena semuanya untuk mencegah malanutrisi dan stunting. "Walaupun anak dengan penyakit langka bukan berarti kondisi kognitif mereka bisa dinomorduakan," kata DR Damayanti mengingatkan.