Berita ini (80 Anak di Bogor Terpapar HIV-AIDSÂ (pikiran-rakyat.com, 13/2-2019) berbicara perihal anak-anak yang mengidap HIV/AIDS, tapi sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang penyebab anak-anak itu tertular HIV/AIDS.
Ada kesan yang 'disalahkan' adalah ibu mereka karena disebutkan oleh Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bogor, Iwan Suryawan: .... anak-anak yang terpapar virus HIV-AIDS mayoritas tertular dari air susu ibu yang menderita HIV-AIDS.
Pertama, ibu-ibu itu tidak menyadari bahwa mereka mengidap HIV/AIDS karena mereka bukan perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Kedua, Pemkab dan Pemkot Bogor tidak mempunyai program yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat, terutama ibu-ibu. Secara epidemilogi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat.
Ketiga, tidak jelas apakah suami ibu-ibu yang anaknya mengidap HIV/AIDS tsb. sudah menjalani tes HIV. Soalanya, kalau mereka, suami-suami ibu anak yang mengidap HIV/AIDS, tidak dites HIV itu artinya mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Langkah-langkah yang dijalankan oleh KPA Bogor dan aktivis AIDS Kota Bogor, Jessica Fitriana, ada di hilir yaitu menangani anak-anak yang mengidap HIV/AIDS tsb. Itu artinya jumlah anak-anak yang akan lahir dengan HIV/AIDS akan terus bertambah karena tidak ada program yang riil untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK).
Ya, kita paham Pemkab dan Pemkot Bogor akan menepuk dada sambil mengatakan: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Secara de jure itu benar karena sejak reformasi ada gerakan yang masif menutup lokalisasi pelacuran yang di era Orba dijadikan sebagai pusat rehabilitasi dan resosialisasi PSK. Tapi, secara de facto apakah Pemkab dan Pemkot Bogor bisa menjamin di daerah mereka tidak ada transaski seks sebagai bentuk pelacuran?
Tentu saja tidak bisa karena transaksi seks terjadi dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote dengan berbagai modus, bahkan memakai media social dan melibat artis serta model melalui protitusi online.
[Baca juga: Diskriminasi dan Eufemisme Pelacuran Dorong Penyebaran AIDS di Indonesia]
Kalau saja Iwan, Jessica dan wartawan yang menulis berita ini lebih memahami epidemic HIV/AIDS tentulah ada manfaat bagi masyarakat setelah membaca berita yaitu cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang riil. Wartawan bias melihat transaksi seks dan menggambarkan laki-laki yang terlibat dalam pelacuran terselubung tsb. agar masyarakat melihat perilaku sebagian laki-laki yang berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS.