Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Tsunami Aceh dari Banten

26 Desember 2018   10:56 Diperbarui: 26 Desember 2018   13:58 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Halaman sebuah hotel di pantai Merak, Banten. Menara di terminal feri Merak kelihatan di kejauhan (Sumber: You Tube)

Ketika tsunami menghantam pesisir barat Banten (22/12-2018) tiba-tiba saya teringat ke sebuah hotel di pesisir Merak, sekiar 500 meter dari dermaga pelabuhan feri Merak arah ke Kota Cilegon, Banten.

Hari itu, Sabtu, 25 Desember 2004. Sejak sore hujan turun. Makin malam hujan makin deras. Suara hantaman air hujan di atap kamar hotel yang terletak persis di bibir garis pantai Merak, Banten, seperti disiram dengan batu krikil. Atap kamar itu terbuat dari asbes.

Jika tsunami yang terjadi 22/12-2018 terjadi waktu itu maka tamatlah riwayat hidup saya karena pintu kamar hotel itu hanya ke depan yang menghadap langsung ke laut. Gelombang tsunami datang dari laut langsung menghantam bagian depan jejeran kamar-kamar hotel. Bagian belakang kamar hotel langsung menempel ke tanah badan jalan raya Cilegon-Merak. Atap hotel sejajar dengan jalan raya.

Aliran air dari atap di depan kamar seperti sungai. Air menggenangi halaman kamar yang berpasir halus. Air yang turun dari atap terus mengalir ke laut. Sedangkan dari arah laut berhembus angin yang membuat hujan menghantam jendela kamar.

Jam menunjukkan pukul 23.00. Saya melihat ke luar lewat jendela kaca. Gelap. Air hujan yang turun deras bagaikan tembok yang membatasi pandangan mata telanjang. Biasanya biar pun hujan masih bisa dilihat kapal-kapal feri yang akan bersandar di dermaga Pelabuhan Merak karena lampu-lampu kapal terang benderang. Tapi, malam itu gelap-gulita. Sama sekali tidak ada yang bisa dilihat dari jendela.

Menjelang isya saya sampai ke hotel setelah berlayar menyeberangi Selat Sunda dari Bakauheni. Selama pelayaran tidak ada yang luar biasa. Laut memang "kriting" istilan anak buah kapal (ABK) tentang gejala-gejala di permukaan laut yang menandakan ada gelombang tapi tidak besar.

Lepas tengah malam hujan terus turun sangat deras. Angin berhembus kencang. Pohon-pohon di depan dihajar angin bahkan ada yang menyentuh atap.

Sama sekali tidak ada pikiran buruk tentang cuaca yang ekstrim malam itu. Saya sudah beberapa kali menginap di hotel itu dan juga pernah turun hujan lebat. Lepas subuh cuaca mulai membaik. Laut tenang. Angin sepoi-sepoi. Kapal-kapal feri keluar masuk dari dermaga.

Ketika sarapan saya tercengang melihat layar televisi yang menyiarkan berita tentang hantaman gelombang pasang yang kemudian disebut tsunami di pesisir barat, utara dan timur Aceh. Tentu saja mengangetkan karena sama sekali tidak ada tanda-tanda di perairan laut di Selat Sunda yang mengarah ke tsunami di Aceh. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun