Akhir-akhir ini instansi, institusi dan aktivis terkait dengan HIV/AIDS dengan lantang tanpa beban moral selalu mengaitkan lesbian dalam terminologi LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) secara langsung dengan penyebaran HIV/AIDS. Ini hoax yang bisa dijerat dengan UU ITE.
Pengaitan langsung lesbian dalam terminologi LGBT Â dengan (epidemi) HIV/AIDS merupakan informasi yang menyesatkan yang disebut hoax atau palsu.
Perilaku Seksual
Lihat saja judul berita ini: LGBT Gaya Hidup yang Potensial Menyebarkan Penyakit HIV/AIDS (tribunnews.com, 23/1-2018). Di lead disebutkan: Rosmelia, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (UII) mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan gaya hidup  yang potensial menyebarkan infeksi penyakit HIV/AIDS.
Judul dan lead berita ini benar-benar menyesatkan dan hoax, karena:
Pertama, penyebutan 'penyakit HIV/AIDS' salah karena HIV adalah virus dan AIDS adalah kondisi pada diri seseorang yang sudah tertular HIV/AIDS secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV. Orang-orang yang tertular HIV tidak semerta sakit, sedangkan di masa AIDS pun tidak otomatis ada penyakit apalagi pengidap HIV/AIDS meminum obat antiretroviral (ARV) sesuai resep dokter.
Kedua, potensi menyebarkan HIV/AIDS bukan karena gaya hidup LGBT sebagai orientasi seksual, tapi karena perilaku seksual orang per orang yang mengidap HIV/AIDS. Yang potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah mereka, dengan orientasi seksual heteroseksual dan homoseksual, pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi.
Ketiga, pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku akan menghentikan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya. Dalam konseling sebelum tes HIV setiap orang yang akan menjalani tes HIV akan membuat pernyataan bahwa jika terdeteksi positif akan menghentkan penyebaran HIV/AIDS mulai dari dirinya.
Keempat, fakta menunjukkan sesuai dengan laporan resmi faktor risiko terbesar adalah heteroseksual (orientasi seksual yang secara seksual tertarik dengan lawan jenis), al. bisa dilihat dari jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka ini tertular HIV dari suaminya yang kemungkinan besar adalah heteroseksual.
Stigma dan Diskriminasi
Kelima, yang jauh lebih potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah biseksual yaitu secara seksual tertarik kepada lawan jenis dan sejenis. Kalau laki-laki mereka beristri, tapi juga punya pasangan sejenis. Biseksual merupakan jembatan penyebaran IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin', yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus  kanker serviks, dll.] dan HIV/AIDS dari komunitas-komunitas homoseksual ke masyarakat, terutama kepada istri.
Keenam, gay dalam LGBT tidak mempunyai perempuan sebagai pasangan tetap sehingga mereka tidak potensial menyebarkan HIV/AIDS ke publik di luar komunitasnya. Yang dikhawatirkan adalah laki-laki biseksual mempunyai pasangan gay sehingga ada risiko tertular HIV bagi laki-laki biseksual yang seterusnya akan disebarkan ke istrinya.
Ketujuh, kalau pun ada lesbian sebagai biseksual yang tertular dari suaminya pola seks pada lesbian bukan faktor risiko tinggi penularan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi.
Tujuh fakta di atas menunjukkan judul dan lead berita ngawur dan termasuk klasifikasi hoax. Selain menyesatkan judul dan lead berita mendorong stigma dan diskriminasi terhadap LGBT sehingga bisa mendorong persekusi.
Judul berita ini juga tidak akurat: Hari AIDS Sedunia 2018, LGBT Penularan Tertinggi HIV AIDS di Riau, Kalahkan Penggunaan Jarum Suntik (pekanbaru.tribunnews.com, 30/11-2018). Dalam berita tidak ada data jumlah lesbian pengidap HIV/AIDS. Yang ada ini: "Sekarang beralih ke kalangan LGBT lebih banyak kasus yang ditemukan. Peningkatannya di Riau sendiri dari sebelumnya kasus HIV dan Aids pada LGBT dari awalnya 0,1 sekarang 0,7 persen," jelas Sri Suryaningsih, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Riau.
Selain itu ada rumatan metadon (narkoba sintetis cair) dan penggantian jarum suntik yang steril sehingga risiko penularan HIV melalui penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama dan bergantian turun drastis. Jadi, tidak bisa dibandingkan dengan penularan dengan faktor risiko lain.
Seks Penetrasi
Ada lagi judul berita: LGBT Pemicu AIDS (sumeks.co.id, 1/12-2018). Lagi dalam berita tidak ada fakta tentang jumlah kasus HIV/AIDS pada lesbian.
Dengan menyebut lesbian pada LGBT sebagai 'gaya hidup yang potensial menyebarkan penyakit HIV/AIDS' merupakan hoax karena pada lesbian tidak ada seks penetrasi sehingga risiko penularan HIV rendah nyaris tidak ada.
Salah satu cara penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dari pengidap HIV/AIDS ke orang lain, di dalam dan di luar nikah, jika laki-laki tidak memakai kondom. Maka, bukan gaya hidup LGBT (sifat hubungan seksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual), yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual (kondisi hubungan seksual). Simak gambar di bawah ini.
Pernyataan yang mengaitkan lesbian pada LGBT secara langsung dengan penyebaran HIV/AIDS menyesatkan dan membuat onar di masyarakat yang akhirnya menohok kalangan lesbian. Ini perbuatan melawan hukum yaitu pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana berupa 6 tahun penjara dan denda Rp 1 M serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H