Tidak Mudah Mengembangkan Pariwisata Danau Toba. Ini judul berita di kompas.com (5/10-2018). Di lead berita disebutkan: Pengembangan pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara, dinilai tidak mudah karena begitu banyak hambatan menantang termasuk dari sisi keterlibatan masyarakat.
Tentu saja hal itu kabar buruk karena Danau Toba salah satu dari 10 daerah tujuan wisata (DTW) yang dikembangkan pemerintah di balik Yogyakarta dan Bali yang sudah jadi DTW kelas dunia.
Jika dilihat dari lingkungan, maka yang punya ikatan administratif dengan wilayah menyentuh Danau Toba ada tujuh kabupaten, yaitu: Simalungun,Tobasa (Toba Samosir), Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Samosir dan Karo.
Tidak semua daerah (kabuparen) mempunyai akses langsung ke danau, Yang jadi 'pintu masuk' adalah Parapat, merupakan ibukota Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, dan Balige (Tobasa). Sedangkan tujuan wisata adalah Pulau Somosir di perairan danau yang jadi wilayah Kabupaten Samosir.
Itu artinya yang meraup untung secara langsung sebagai pemasukan ke kas daerah, sebagai pendapatan asli daerah (PAD), hanya Parapat dan Samosir, terutama melalui hotel dan perdagangan.
Lalu, apa dukungan kabupaten lain?
Tentu saja ada yaitu air untuk danau. Soalnya, Danau Toba bisa tetap ada karena ada air di danau walaupun sering diributkan karena tinggi permukaan air danau dikabarkan terus menyusut. Ada yang menuding pabrik aluminium (PT Inalum) sebagai biang keladinya, padahal air yang dipakai untuk menggerakkan turbin merupakan air yang keluar dari danau melalui Sungai Asahan dengan hasil 450 MW.
Air yang mengalir secara tetap ke danau datang ratusan sungai, tapi yang paling besar adalah dari Karo melalui Sungai Sipiso-piso. Ada juga sungai-sungai yang mengalirkan air secara etap dan ada pula yang musiman. Celakanya, banyak sungai yang melewati permukiman sehingga sungai itu membawa sampah rumah tangga, pasar, hortel, residu pestisida dan kotoran ternak ke danau. Bahkan, sungai jadi MCK bagi penduduk di sepanjang aliran sungai. Inilah yang membuat kandungan e-Coli di air danau.
Peran besar daerah-daerah seputar danau adalah upaya menjaga daerah tangkapan hujan karena inilah sumber air ke danau. Alih fungsi lahan dari hutan ke lahan tanaman dan kebun sawit merusak daerah tangkap hujan sehingga menurunkan volume air yang dialirkan ke danau. Air hujan jadi air permukaan yang langsung hilang, sedangkan kalau hutan di daerah tangkapan hujan terjaga air hujan akan tertahan di tanah sehingga aliran air ke danau terus berlangsung.
Tingkat kerusakan daerah tangkapan hujan di seputar danau jadi masalah besar. Badan Lingkungan Hidup Sumut memperkirakan, hingga tahun 2010, sisa vegetasi hutan tinggal 12 persen dari total sekitar 356.800 hektar areal hutan di kawasan Danau Toba tersebut (kompas.com, 11/11-2013).
Dalam kaitan itulah diperlukan kerjasama antar semua daerah di seputar danau untuk menjaga kelestarian hutan sebagai daerah tangkapan hujan. Soalnya, kalau debit air yang masuk ke danau terus berkurang tentulah danau kian dangkal dan mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan.