Catatan penulis: Tulisan ini saya cari-cari ketika membaca Harian "Kompas" edisi hari ini (27/9-2018) karena ada dua berita yang sangat nertolak belakang yaitu: (1) Kaum Milenial Penentu Indonesia Emas 2045 (headline), dan (2) Pemberantasan Korupsi, Anak Muda Ternyata Lebih Permisif. Gambaran kondisi di dekade 1990-an memberikan latar belakang terhadap dua berita tsb.
Oleh: Syaiful W. Harahap*
Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan politik yang melaju dengan pesat akan membuka berbagai peluang (baru) di sektor ekonomi dan politik itu sendiri. Peluang itu pulalah, yang pada gilirannya, merubah starata dalam suatu struktur masyarakat.
Di beberapa negara industri baru (New Industrial Countries/NIC's), seperti Hong Kong, Korsel, dan Singapura, bahkan di India dan Indonesia pun sudah muncul kelas (masyarakat) baru yang dikenal sebagai yuppies (young urban upwardly profesionals) yang diindentifikasi sebagai sebuah struktur sosial yang terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang pesat dan perkembangan politik yang kian mengarah ke demokratisasi.
Sedangkan struktur di kota-kota menengah dengan pola lapisan yang variatif (Gambar 2). Keragaman strata sosial di suatu lingkungan akan menghasilkan stratifikasi sosial (kelas dalam masyarakat) atau diferensiasi sosial. Kondisi ini, seperti disebut oleh Ralph Linton akan menghasilkan status sosial yaitu berupa hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang di masyarakat. Ada sebagian kecil warga yang bisa menembus strata sampai ke starata menengah, misalnya, pegawai negeri dan karyawan swasta yang belakangan menerima gaji dan upah yang disesuaikan dengan standar kebutuhan hidup minimum yang dikenal sebagai UMR (upah minimun regional)
Dalam suatu masyarakat heterogen, seperti di perkotaan, peningkatan status, terutama dari kelas bawah dan menengah, atau menengah ke kelas atas dikenal sebagai lapisan baru di kelasnya, yang lebih dikenal dengan julukan the new social middle class. Mereka ini digambarkan sebagai pendatang baru (new comer) dalam staratanya pada struktur masyarakat.
Mereka inilah, sebenarnya, yang sering dikategorikan sebagai kalangan yuppies. Kalangan ini terkenal sebagai pribadi-pribadi yang mapan, umumnya di sektor ekonomi (bisnis). Mereka mudah dikenali karena selalu tampak elegan dengan cara mengikuti mode, mulai dari pakaian dan aksesori sampai ke mobil dan makanan. Pola hidup mereka yang mengutamakan merek, seperti pakaian dan mobil, merupakan salah satu lambang prestise untuk mendukung penampilan mereka.
Ada juga yang menyebut mereka sebagai the middle class family karena pola kehidupan sehari-harinya dikenal sangat familiar yang diwujudkan dengan pergaulan yang tidak lagi mengacu ke falsafah pergaulan tradisional ala ketimuran. Soalnya, pergaulan antar sesama anggota keluarga seperti berteman saja.
Peningkatan status sosial itu terjadi karena mereka mampu memanfaatkan peluang-peluang baru yang terbuka berkat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan politik yang kian mengarah ke demokratisasi di negaranya. Secara teoritis ada tiga jalur yang dapat ditempuh untuk meningkatkan status sosial yaitu jalur politik, ekonomi, dan fisik.
Jika ditelusuri, ternyata, kehadiran the new social middle class di Indonesia umumnya lahir dari jalur politik. Artinya, mereka memanfaatkan jalur politik untuk keperluan bisnis. Mereka mendekati aparat-aparat pemerintah yang menjadi pemimpin proyek (pimpro) pembangunan fasilitas-fasilitas umum, baik di pusat maupun daerah.
Jalur ini mereka tempuh dengan melibatkan diri langsung ke dalam lingkaran pemerintahan, terutama melalui organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan dan kepemudaan, yang dalam prakteknya menjadi onderbow partai yang berkuasa.
Dalam konteks ini, tampaknya, mereka tidak akan bisa tampil sebagai kutub-kutub kekuatan (politik) baru karena mereka harus seirama dengan the ruling class agar bisnisnya tetap jalan. Dengan bahasa lain mereka memilih berlindung di bawah ketiak the ruling class daripada mencari dukungan sosial dari masyarakat dengan mengakarkan diri.
Jadi, secara teoritis kehadiran yuppies di Indonesia terjadi karena mereka memanfaatkan jalur politik karena jika lewat jalur ekonomi mereka akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa atau konglomerat, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs).
Padahal, melalui jalur ekonomi, sebenarnya, mereka akan berhadapan dengan persaingan yang fair, tapi harus kerja keras dan memeras otak.
Itulah yang mereka hindari. Kita bisa melihat bagaimana sebagian besar pengusaha (muda) kita yang umumnya hanya menggantungkan diri kepada proyek-proyek pemerintah (daerah) dengan memanfaatkan peluang dalam anggaran rutin atau APBD. Dalam kaitan ini pun, tentulah mereka harus mengikuti jalur kekuasaan agar tetap memperoleh jatah.
Pada gilirannya mereka akan menjadi pengusaha yang berperan sebagai perpanjangan tangan penguasa, misalnya, dengan memberikan dukungan moril dan meteril dalam kegiatan-kegiatan politik dan pemerintahan.
Jadi, jangan heran kalau dalam berbagai aksi politik mereka memilih diam dan tidak berpihak kepada partai politik yang menjadi saingan the ruling class, tapi di belakang layar mereka menjadi pendukung aktif partai yang berkuasa.
Perwujudan peranan dalam politik (praktis) tentulah dapat dilakukan melalui partisipasi aktif, dan ini akan menyulitkan bagi mereka karena mereka harus berhadapan dengan the ruling class yang ''mengayomi'' mereka.
Lagi pula dalam politik praktis action hanya dapat diwujudkkan melalui jalur opposisi atau pressure group. Inilah yang diharamkan penguasa sehingga kaum yuppies kita pun memilih tidak berpolitik praktis, dalam arti tidak memilih partai di luar pemerintah, agar mereka tetap bisa survive.
Sedangkan jalur fisik tentulah tidak akan ada lagi kesempatan bagi banyak orang untuk menaikkan status sosial karena law enforcement sudah dijalankan sehingga backing-backing-an hampir tidak punya peluang lagi. Hanya segelintir oknum yang masih bisa memanfaatkan kedudukannya sebagai backing. Ada yang berperan sebagai petugas keamanan (bodyguard) dan ada pula yang bertindak sebagai 'alibaba' dengan mencantumkan namanya dalam susunan pengurus suatu perusahaan.
Kalau memang mereka memanfaatkan jalur politik sebaiknya ada pergeseran (nilai) dalam diri mereka. Hal ini sudah mulai tampak di beberapa negara.
Selama ini mereka dikenal sebagai yuppies yang melupakan akar budaya dan visi sosial dan hanya menikmati ''keberhasilannya''. Seolah-olah mereka merasa ''keberhasilan'' itu hanya karena kerja keras mereka.
Belakangan mereka mulai mempertimbangkan visi sosial dalam kehidupannya dan mulai menyadari bahwa ''keberhasilan'' itu mereka capai berkat kerja sama dan bantuan orang lain. Pendidikan, agama, dan kebudayaan mulai mereka jadikan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Gejala ini merupakan suatu proses pematangan diri di kalangan kaum yuppies. Mereka kemudian dikenal sebagai yippies (young idealistic upwardly profesionals).
Apakah juga yuppies di Indonesia akan beranjak ke yippies? Kita tunggu (saja)!
* Penulis seorang pengamat masalah sosial kemasyarakatan yang tinggal di Jakarta.
[Artikel ini pertama kali dimuat di Harian "Jayakarta", Jakarta, 1997, berdasarkan wawancara dengan antropolog Prof Dr Parsudi Suparlan dan psikolog UI Sartono Mukadis (keduanya almarhum)].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H