Guna menekan angka penyebaran virus Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), anggota Komite III DPD RI Riri Damayanti John Latief meminta agar dinas terkait untuk terus melakukan sosialisasi tentang bahaya HIV diberbagai tempat. Ini lead pada berita Cegah Virus HIV/AIDS (pedomanbengkulu.com, 12/7-2018).
Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia, diakui pemerintah sejak April 1987, sosialiasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan oleh berbagai kalangan mulai dari instansi sampai institusi dan LSM [Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia].
Apa yang terjadi? Perilaku seksual berisiko sebagian warga tetap tidak berubah. Maka, insiden infeksi HIV baru pun terus terjadi. Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia per 31 Maret 2017, seperti dilaporkan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 24 Mei 2017 mencapai 242.699 yang terdiri atas 330.152 HIV dan  87.453 AIDS dengan 14.754 kematian.
Sedangkan di Provinsi Bengkulu dilaporkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sebanyak 865 yang terdiri atas 547 HIV dan 318 AIDS. Jumlah ini menempatkan Bengkulu pada peringkat ke-29 secara nasional.
Perilaku berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual, al.: Laki-laki heteroseksual (secara seksual tertarik kepada perempuan) yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti dengan pekerja seks komersial (PSK), kaena bisa saja ada di antara PSK itu yang mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko tertular HIV/AIDS.
PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(1) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(2) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, 'artis', 'spg', cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Yang jadi persoalan dikesankan di Bengkulu dan daerah lain di Indonesia tidak ada lagi pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibina oleh dinas terkait, seperti dinas sosial. Tapi, tidak bisa dipungkiri transaksi seks yang sama saja dengan pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung tetap terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Celakanya, praktek transaksi seks yang melibatkan PSK tidak langsung tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dilakukan intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak langsung. Itu artinya insiden infeksi HIV baru terus terjadi. Sedangkan praktek PSK langsung pun sudah ditutup.