Di angkutan umum, di kantor, di halte, di mana saja pemandangan yang kasat mata adalah orang-orang menundukkan kepala memelototi ponsel pintar. Ini merupakan fenomena phubber yang memilih mengirim teks daripada berbicara. Â 'Generasi Nunduk' sudah menjadi pemandangan keseharian di Indonesia yang dikhawatirkan mendorong 'generasi anti-sosial'.
Belakangan ini jumlah phubber (dari kata phone dan snubber yang berarti orang yang menundukkan kepala untuk melihat ponsel pintar) meningkat drastis mulai dari usia balita sampai lanjut usia. Kaum phubber lebih memilih berinteraksi dengan ponsel pintar daripada berbicara dengan sesama.
Bahkan, tingkat interaksi yang tiinggi dengan ponsel pintar untuk akses media sosial disebut sebagai ketergantungan sebagai  'candu baru' (Baca juga: Candu Baru Itu Bernama Media Sosial).
Media sosial saja sudah menjadi salah satu pemicu sikap anti-sosial yang menempatkan pengguna media sosial sebagai sosok yang asing di lingkungannya. Mereka hanya sibuk dengan ponsel pintar tanpa menghiraukan sekitar. Anti-sosial yang merupakan perilaku yang tidak sejalan dengan tatanan masyarakat merupakan bagian dari erosi keramahan yang merupakan bagian dari masyarakat.
Posting-an di media sosial bisa saja dirancang untuk menarik perhatian atau untuk memuaskan diri sendiri dengan harapan ada tanggapan berupa "Like" atau "Suka". Tidak jarang remaja putri mem-posting foto-foto sensual dirinya tanpa memikirkan dampaknya. Sudah sering terjadi pertemanan melalui media sosial berakhir dengan bencana, seperti pemerkosaan dan pembunuhan.
Perundungan (bullying) juga jadi bagian dari aktivitas di media sosial yang mendorong kondisi kecemasan, depresi dan anti-sosial. Laporan "The Guardian" (13/9-2004) menyebutkan dalam 25 tahun terakhir ini kesehatan mental remaja tutun tajam dengan kemungkinan anak-anak umur 15 tahun akan mengalami masalah perilaku buruk, seperti berbohong, mencuri dan tidak patuh. Dilaporkan juga hasil studi di Inggris menunjukkan kecemasan dan depresi di kalangan remaja meningkat 70 persen.
'Generasi nunduk' lebih memilih mengirim teks daripada berbicara melalui ponsel. Bahkan, ada kasus seorang bupati di Jawa Barat yang menceraikan isterinya dengan talak berupa teks  pesan singkat (SMS) melalui ponsel. Itu artinya teks yang berbicara bukan ucapan dengan menyebutkan talak seperti yang disyaratkan.
Dengan fenomena teks ini tingkat pemakaian telepon rumah akan berkurang. Ucapan selamat Hari Raya Idulfitri dengan permintaan maaf yang selayaknya diucapkan kini juga mulai beralih dengan mengirimkan teks. Ada konfigurasi teks dan ilustrasi tapi tetap saja teks karena hanya merupakan rangkaian karakter tanpa nada ketulusan.
Pengguna ponsel pintar seakan tidak bisa lagi membagi waktu untuk berbicara karena terus-menerus membaca pesan di layar dan sekaligus membalas pesan secara beruntun (dari berbagai sumber). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H