PBB Pemberantasan HIV/AIDS Terhambat Tabu dan Stigma. Ini judul berita di "VOA Indonesia" (26/5-2018). Stigma (KBBI: ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya) terjadi terhadap orang-orang yang sudah menjalani tes HIV dengan hasil positif.
Sebaliknya, insiden infeksi HIV baru terjadi di hulu yaitu pada orang-orang yang melakukan perilaku berisiko tinggi tertular HIV, yaitu: melalui hubungan seksual, memakai jarum suntik narkoba bergantian, menerima transfusi darah yang tidak diskirining HIV, dan bayi yang lahir dan menyusui ke ibu yang HIV-positif.
Sejak kasus pertama HIV/AIDS dilaporkan (1987) dan HIV disetujui WHO sebagai virus penyebab AIDS lebih dari 35 tahun lalu, 78 juta penduduk Bumi terinfeksi HIV. Dari jumlah ini 35 juta meninggal karena penyakit terkait AIDS. Di Indonesia sampai Maret 2017 dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, 24 Mei 2017, jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS dengan 14.754 kematian.
Kalau pun kemudian Michel Sidibe, Direktur Eksekutif Program Bersama PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS), mengatakan bahwa stigma menghambat pemberantasan HIV/AIDS itu terjadi pada orang-orang yang sudah tertular HIV tapi tidak menyadarinya. Ini terjadi justru karena selama ini HIV/AIDS, yang sebenarnya adalah fakta medis, dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga terjadi misleading (menyesatkan) berupa mitos (anggapan yang salah). (Baca juga: Kampanye AIDS yang Mengukuhkan Mitos dan Mitos AIDS Menkominfo Tifatul Sembiring).
Stigma terjadi karena mitos dan informasi tentang orang-orang yang mengidap HIV/AIDS dipublikasikan secara luas, baik melalui media massa maupun dengan cara-cara yang memberikan indikasi HIV/AIDS. Misalnya, menempatkan pengidap HIV/AIDS, dikenal luas sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS), di ruang perawatan khusus, memberikan tanda-tanda khas pada medical record, dll.
Masyarakat melakukan stigma karena HIV/AIDS selalu dikaitkan dengan perilaku amoral, perilaku menyimpang, dll. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya dengan sifat hubungan seksual (amoral, zina, melacur, seks pranikah, seks menyimpang, seks bebas, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta dan bukan fakta baru.
Untuk itulah diperlukan sosialisasi HIV/AIDS yang komprehensif ke masyarakat melalui berbagai saluran dan media secara konsisten dengan materi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, misalnya, identitas NN (27), seorang perempuan pengidap HIV/AIDS dari sebuah desa terpencil di wilayah Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dibocorkan oleh salah seorang perawat. Puskesmas Tengaran menolak NN dengan alasan tidak ada surat rujukan dokter. Sedangkan dokter yang melayani NN berteriak: 'Oh, Andreas bukan dokter, tapi yang ngurusi orang kena AIDS' sehingga didengar banyak orang (Andreas konselor yang mendampingi NN dan membawa NN ke puskesmas tsb.) (kompas.com, 7/7-2016).
Sedangkan di Ciamis, Jawa Barat, RSUD Ciamis menolak menangani persalinan seorang perempuan pengidap HIV/AIDS dengan alasan tidak memilik fasilitas dan tenaga yang lengkap (pikiran-rakyat.com, 4/12-2015).
Temuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat dalam pelayanan kesehatan terhadap Odha pada kurun waktu Oktober 2016 sampai Oktober 2017 pada 184 kasus di 14 kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Manado, Bandung, Jayawijaya, dan kota-kota besar lainnya, menunjukkan tak sedikit yang mengalami perlakuan tak ramah dari tenaga kesehatan, seperti penolakan dengan alasan takut tertular, serta mendapat lontaran ejekan seperti menghakimi atau menceramahi (rona.metrotvnews.com, 1/12-2017).