Dua atau tiga hari setelah Lebaran Idul Fitri biasanya saya kembali menjemput pembantu ke kampung mereka. Sepekan sebelum Lebaran mereka saya antar paling tidak sampai pangkalan ojek yang sudah masuk wilayah tempat tinggal mereka.
Tapi, peristiwa yang satu ini tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan saya. Ketika itu Lebaran tahun 1994. Hari ketiga lebaran saya akan menjemput, sebut saja Tia, 16 tahun. Kampungnya di kawasan Cikotok, Lebak, Banten. Dari terminal Cikotok naik ojek lagi sekitar 1 jam.
Ketika mengantarkan Tia, seperti anjuran pengurus yayasan tempat Tia saya ambil di Tangerang, Banten, saya tempuh perjalanan dengan bus umum dari Jakarta-Serang-Rangkasbitung-Cikotok. Ini memakan waktu 10 jam.
Dari terminal Cikotok Tia naik ojek yang dikenalnya. Saya juga mencacat nama pengojek dan nomor polisi motor yang dia pakai. Maklum, waktu itu belum ada ponsel. Saya tetap menunggu tukang ojek balik lagi ke terminal Cikotok. Setelah bertemu dan memastikan Tia sudah sampai di rumahnya. Tia setuju saya jemput hari lebaran ketiga.
Saya kembali ke Jakarta melalui jalur Cikotok-Cisolok (ojek), karena wilayah berikutnya sudah masuk Kab Sukabumi, Jabar, maka cari Cisolok ke Pelabuhanratu ganti ojek. Sampai di Pelabuhanratu pukul 20.00. Tentu saja tidak ada lagi angkutan umum. Beruntung ada truk yang akan ke Sukabumi sehingga saya bisa 'keluar' dari ujung selatan Jabar itu.
Sesuai dengan perjanjian saya pun berangkat ke Cikotok, kali ini melalui Jakarta-Sukabimi-Pelabuhanratu. Selanjutnya dengan angkutan umum kecil ke Cisolok yang dilanjutkan ke Cikotok.
Di terminal tukang ojek yang mengantar Tia sudah menunggu. Setelah ngobrol tukang ojek tancap gas ke kampung Tia.
Saya sudah menunggu satu jam ..... dua jam .... tiga jam. Ojek belum datang.
Ada apa?
Setelah lewat tiga jam ojek tiba. Ketika itu pukul 17.00. Tapi, Tia tidak ada di boncengan ojek.
Raut muka tukang ojek menandakan sesuatu yang tidak baik. Benar saja. "Pak, Tia tidak bisa lagi kerja," kata tukang ojek sambil menyerahkan selembar kertas tulis tangan Tia.