Begitu juga dengan risiko penularan dari laki-laki warga Jembrana yang tertular HIV perlu intervensi agar suami-suami yang perilaku seksualnya berisiko tertular HIV supaya pakai kondom ketika seks dengan istrinya. Selain itu perlu pula program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Seperti diketahui epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (895) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Jembrana adalah membuat regulasi yang bisa mendeteksi warga Jembrana yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi.
Biar pun Pemkab Jembarana sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 1 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 10 Oktober 2008, tapi karena perda ini tidak aplikatif maka tidak bisa diandalkan (Baca juga: Menyibak Sepak Terjang Perda AIDS Kabupaten Jembrana, Bali).
Tanpa program yang konkret, maka warga yang mengidap HIV/AIDS tsb. akan terus menularkan HIV kepada orang lain lagi-lagi tanpa mereka sadari karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan kesehatan mereka sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Penyebaran HIV/AIDS yang terjadi secara diam-diam itu ibarat 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. Pilihan ada di tangan Pemkab Jembrana, mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS atau membiarkan penyebaran HIV di masyarakat terus terjadi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H