Belakangan ini instansi dan institusi terkait AIDS, seperti Dinkes (Dinas Kesehatan) dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) mengedepankan isu LGBT. Ini bermuatan moral yang justru kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS (Baca juga: Pers Meliput AIDS, Syaiful W Harahap, Penerbit Sinar Harapan/The Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Soalnya, yang potensial menyebarkan HIV di masyarakat adalah laki-laki heteroseksual karena mereka ini punya pasangan tetap (istri), bahkan ada yang beristri lebih dari satu. Ini terbukti dari jumlah ibu rumah tangga dan bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Dengan mengumbar LGBT beralut moral yang juga didukung oleh media massa dan media online, isu utama dalam epidemi HIV/AIDS jadi hilang yaitu laki-laki heteroseksual.
Survei Kemenkes tahun 2012 di beberapa kota (pelabuhan dan perbatasan) di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki pelanggan tetap 230.000 pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang kasat mata. Dari jumlah ini 4,9 juta mempunyai istri (antarabali.com, 9/4-2013). Sedangkan jumlah ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dari 1987-September 2015 berjumlah 9.096 (BBC Indonesia, 1/12-2015).
Terkait dengan LGBT, belum ada kasus HIV/AIDS dilaporkan dengan faktor risiko lesbian. Gay dan biseksual tidak kasat mata sehingga tidak semudah yang dibayangkan menyebutkan orientasi seksual seseorang berdasarkan fisiknya. Yang kasat mata hanya transgender (waria) yang dalam pelaporan kasus HIV/AIDS masuk kategori homoseksual.
Sangatlah sulit mengharapkan perubahan perilaku seksual seseorang melalui informasi yang disebarkan media massa dan media online selama informasi HIV/AIDS tetap dibalut dengan moral karena yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah). *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H