Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bukan Seks Menyimpang, Ini Penyebab Tingginya HIV/AIDS di Papua

24 Mei 2018   09:09 Diperbarui: 24 Mei 2018   11:36 4778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: youthstopaids.org)

"Namun di sisi lain, perilaku seks menyimpang dari masyarakat menjadi pemicu utama meningkatnya penyebaran virus mematikan ini." Ini ada dalam berita "Kasus HIV/AIDS di Papua Tembus 35 Ribu"  (pasificpos.com, 23/5-2018).

Epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang diakui pemerintah sudah ada sejak April 1987 berdasarkan kasus kematian turis Belanda, seorang gay, yang meninggal karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah Denpasar, Bali (Baca juga: Kapan, Sih, Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia?).

Penyangkalan

Pemerintah waktu itu pun menjadikan kematian gay ini sebagai materi sosialisasi AIDS dengan menyebutnya sebagi penyakit akibat 'perilaku menyimpang', penyakit bule, penyakit homoseksual, penyakit orang asing, dll. Inilah mitos (anggapan yang salah). 

Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena orientasi seksual (homoseksual, heteroseksual, biseksual) dan sifat hubungan seksual (di luar nikah), tapi karena kondisi hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom.

Biar pun informasi HIV/AIDS yang objektif sudah banjir, tapi tetap saja banyak kalangan yang tetap memakai 'kaca mata kuda' sehingga cara berpikirnya tentang HIV/AIDS tidak berubah. Media massa nasional pun banyak yang tetap berpijak pada informasi yang dibalut dengan moral itu sehingga terjadi  'misleading' (menyesatkan).

Terkait dengan HIV/AIDS di Papua tidak jelas apa yang disebut sebagai 'perilaku seks menyimpang dari masyarakat'. Risiko laki-laki tertular HIV/AIDS yang potensial melalui hubungan seksual adalah sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi tidak memakai kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK).

Kalau yang dimaksud 'perilaku seks menyimpang dari masyarakat' adalah hubungan seksual dengan PSK, maka persoalan bukan karena menyimpang tapi karena laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, ada kecenderungan di Papua yang menyangkal perilaku seksual sebagian orang dengan menyalahkan PSK dan menyebutnya sebagai genosida. Inilah pangkal epidemi HIV karena tidak melihat kesalahan pada diri sendiri tapi menyalangkah orang atau pihak lain (Baca juga: AIDS di Papua: Penyangkalan Terhadap Perilaku Seksual Laki-laki Papua dan AIDS di Papua Bukan Genosida).

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua drg. Aloysius Giyai, M.Kes, mengatakan: Ya, ada peningkatan, karena masyarakat semakin menyadari dengan sendirinya datang untuk melakukan tes VCT untuk mendeteksi risikonya terhadap HIV.

Yang meningkat atau bertambah adalah jumlah warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS berdasarkan hasil tes HIV di klinik-klinik VCT (tempat tes HIV sukarela dengan konseling) di puskesmas dan rumah sakit pemerintah. Sedangkan kasus baru tidak bisa dideteksi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada orang-orang yang tertular HIV sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Tes HIV di klinik VCT terjadi di hilir. Artinya warga yang terdeteksi sudah tertular HIV. Biar pun mereka diberikan obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan risiko menularkan HIV itu terjadi pada orang-orang yang sudah tertular HIV.

Perda AIDS

Persoalan besar adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan PSK dengan kondisi tidak memakai kondom. Celakanya, Pemprov Papua menjalankan program sunat pada laki-laki sebagai upaya menanggulangi HIV/AIDS [Baca juga: Penanggulangan AIDS di Papua dengan "Kondom Alam" dan AIDS di Papua: Sunat (Bisa) Menjerumuskan karena Dianggap Kondom (Alam)].

Sunat bukan mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, tapi menurunkan risiko karena sebagaian penis (kepala penis) mengeras sehingga sulit 'ditembus' HIV. Tapi, batang penis yang luas permukaannya lebih besar menjadi pintu masuk bagi HIV melalui luka-luka mikroskopis ketika terjadi hubungan seksual tanpa kondom.

Beberapa tahun yang lalu ada pula kegaduhan yang menyesatkan yaitu menyebut buah merah bisa menyembuhkan AIDS. Setiap kali pelatihan di Papua penulis selalu ditodong dengan umpatan bahwa Jakarta (baca: pemerintan) tidak peduli dengan AIDS di Papua karena tidak mengembangkan buah merah untuk obat AIDS. 

Pada awalnya penulis kelabakan menjawab pertanyaan itu. Tapi, ketika pelatihan bersama Zulazmi Mamdy, MPH, FKM UI, ke Papua baru penulis dapat jawaban yang tepat: "Pak Syaiful, kalau buah merah bisa mengobati AIDS tentu tidak ada penduduk Papua yang mengidap AIDS." (Baca juga: Apakah Buah Merah Bisa Menyembuhkan HIV/AIDS?).

Soal jumlah kasus HIV/AIDS yang banyak terdeteksi secara epidemilogis justru lebih baik daripada tidak banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Setiap kasus HIV/AIDS yang terdeteksi berati satu mata rantai penyebaran HIV diputus dan warga yang terdeteksi ditangani secara medis. Jika tes CD4 sudah di bawah 350 diberikan obat ARV sehingga kondisi pengidap HIV/AIDS tetap biasa dan risiko menularkan HIV bisa ditekan.

Sebaliknya, daerah-daerah dengan kasus HIV/AIDS yang sedikit terdeteksi belum tentu kasus HIV/AIDS di masyarakat tidak banyak karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.

Peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS pertama di Indonesia diterbitkan di Nabire, Papua (Perda Kab Nabire No 18/2003, tanggal 31 Januari 2003). Sekarang hampir semua daerah, termasuk provinsi, punya Perda AIDS. Tapi, karena perda-perda itu dibalut dengan moral, maka tidak menukik ke akar persoalan (Baca juga: Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand).

Yang diperlukan di Papua adalah penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi (penularan) HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa dilakukan dengan intervensi yang memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK. Ini bisa efektif kalau praktek PSK dilokalisir. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun