Berdasarkan data yang dilansir "BBC Indonesia" (12/3-2018) menunjukkan hukuman mati di beberapa negara jauh lebih banyak daripada di Indonesia, tapi Sekjen PBB Ban Ki-moon, hanya berani menghujat Pemerintah Indonesia.
Ketika Indonesia menjalankan perintah hukum yaitu eksekusi mati terhadap pelaku kejahatan luar biasa yaitu terorisme dan pengedar narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya), Â Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, meminta Indonesia membatalkan pelaksanaan hukuman mati atas sejumlah terpidana mati yang terlibat narkoba, termasuk dua warga Australia (tribunnews.com, 15/2-2015).
Agaknya, PBB memakai 'kebaikan' Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerikan grasi 5 tahun kepada narapidana narkoba WN Australia, Schapelle Leigh Corby, yang dihukum 12 tahun penjara (2012) untuk menekan Pemerintahan Presiden Jokowi/JK.
Indonesia dijadikan sebagai sasaran tembak yang empuk oleh Komisi HAM PBB dan lembaga-lembaga yang berlindung di balik HAM, termasuk yang ada di Indonesia. Padahal, proses hukum di Indonesia terbuka dan melalui jenjang yang jelas. Ketika vonis di Pengadilan Negeri tidak diterima, terpidana bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Selanjutnya kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Masih juga tidak terima bisa mengajukan PK (Peninjuan Kembali). Tetap tidak terima masih ada hak terpidana yaitu mengajukan grasi ke presiden.
Apakah PBB tidak melihat proses hukum yang transparan di Indonesia dan membandingkannya dengan proses hukum misalnya di Cina, Irak, Arab Saudi, dan Iran?
Laporan organisasi hak asasi manusia, Reprieve, seperti dikutip "BBC Indonesia" menyeburkan antara Juli 2017 hingga Februari 2018 Arab Saudi melakukan eksekusi mati terhadap 133 orang. Sedangkan pada periode Oktober 2016 hingga Mei 2017 eksekusi mati terhadap 67 orang. Reprieve tidak menemukan data Juni 2017, yang bertepatan dengan bulan Ramadan.
Disebutkan pula bahwa hampir semua analis setuju angka eksekusi yang sebenarnya di Cina bisa jadi jauh lebih tinggi dari yang terpantau di media. Di negara ini 'eksekusi dilakukan diam-diam'.
Menentang hukuman mati di Indonesia, tapi membiarkan TKI/TKW menjalani hukuman mati di luar negeri. Begitu juga PBB yang bungkam ketika ada TKW yang dihukum mati di Arab Saudi. Tapi lantang mendesak Pemerintah RI menghentikan hukuman mati seakan-akan PBB adalah "yang maha kuasa" atas Indonesia.
Maka, benarlah pertanyaan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, tentang pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon yang tendensius dan merendahkan martabat dan kedaulatan Indonesia (tribunnews.com, 15/2-2015).
Bukan soal pro atau kontra terhadap hukuman mati, tapi sikap PBB dan organisasi penentang hukuman mati yang hanya punya nyali menghujat kedaultan hukum RI yang notabene negara mereka sendiri. *