Ketika ada yang menganjurkan agar mengecek kebenaran sebuah informasi sebelum disebarkan melalui media sosoal tentulah bertentangan dengan prinsip para pembuat dan penyebar informasi hoax. Mereka justru tidak akan pernah menjadikan media mainstream jadi patokan.
Setiap kali diundang untuk pelatihan penulisan berita yang berempati dengan perspektif gender ada sebuah media yang tidak pernah mengirimkan wartawan untuk mengikuti pelatihan tsb. Padahal, pelatihan gratis, ongkos dan akomodasi ditanggung. Karena penasaran yang mengundang, sebuah lembaga pelatihan media di Yogyakarta, mengontak media tsb. Jawaban yang diterima memang bikin kepala geleng-geleng, tapi pemimpin redaksi media itu jujur: "Kalau wartawan saya memahami gender, mereka tidak akan mau lagi menulis berita yang tidak berperspektif gender."
Itu artinya berita pun tidak lagi bisa ditulis dengan sensasional. Tapi, di lain pihak tentulah petaka bagi wartawan media itu karena sama sekali buta tentang (perspektif) gender sehingga tulisan mereka pun mengabaikan fakta empiris di ranah sosical settings.
Nah, analoginya adalah terhadap orang-orang yang mengolah informasi jadi hoax (penipuan melalui informasi yang dikemas seperti news atau berita). Mereka justru mengolah informasi yang akurat menjadi kabar bohong yang dikemas seperti berita yang disebarkan melalui akun-akun media sosial yang menyebar dengan cepat (Baca juga: Hoax Memang Dicari-cari).
Komunitas 'the haters' justru memakai mesin pencari dengan kata kunci sesuai dengan kebentian mereka. Misalnya, 'si polan maling'. Maka, kalau ada informasi atau berita yang justru membantah kata kunci itu mereka abaikan atau mereka olah sedemkian rupa agar sesuai dengan yang mereka harapkan.
Pengamat intelijen, Wawan Purwanto, menyarankan agar masyarakat menjadikan media mainstream atau arus utama sebagai acuan informasi di tengah maraknya media penyebar berita palsu (hoax) dan penyebar propaganda radikalisme belakangan ini (antaranews.com, 12/1-2018). Anjuran ini justru tidak akan diindahkan oleh pembuat dan penyebar hoax karena yang mereka perlukan adalah kabar bohong bukan berita yang akurat dan faktual sesuai dengan standar jurnalistik.
Beberapa kalangan yang keblinger (KBBI: sesat, keliru) yang menentang UU ITE dengan alasan menghambat kebebasan berekspresi justru ikut menyeburkan penyebaran berita bohong (hoax). Rupanya, bagi mereka fitnah, caci-maki, ejekan, ujaran kebencian, dll. termasuk sebagai kebebasan berekspresi [Baca juga: Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?].
Begitu juga dengan anjuran Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, yang mengimbau agar masyarakat tak asal menyebarkan informasi yang belum bisa diketahui kebenarannya (kompas.com, 6/3-2018). Pak Sandiaga, kalau informasinya benar tidak akan pernah mereka disebarkan. Mereka justru mengemas barita yang benar jadi infomasi hoax. Itulah sebabnya mereka tidak akan pernah mau menguji informasi yang mereka dapat dan olah (Baca juga:"Penggemar" Hoax Justru Mengabaikan Berita Faktual di Media Mainstream).
Wawan menilai keberadaan media penyebar hoax dan propaganda radikalisme sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, apalagi informasi-informasi berisi hasutan. Justru itulah yang mereka harapkan agar terjadi kekacauan.
Fitnah, ujaran kebencian dan hasutan jadi masalah besar dalam informasi hoax karena dibumbui dengan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Celakanya, tingkat literasii dan pemahaman terhadap media di banyak kalangan sangat rendah.
Akses mereka ke sumber-sumber informasi pun sangat terbatas. Akibatnya, informasi yang mereka terima di posel dan telepon pintar tidak dikonfirmasi dengan sumber informasi lain.