Hampir 1 miliar penduduk dunia berrisiko kehilangan pendengaran jelang tahun 2050. Ini disampaikan oleh Badan Kesehatan Sedunia PBB (World Health Organization/WHO) sehubungan dengan peringatan "Hari Pendengaran Dunia" (World Hearing Day) yang diperingati setiap tanggal 3 Maret.
Angka ini tentulah tidak bisa dianggap main-main. WHO menyebut 1 dari 10 orang di dunia atau lebih dari 900 juta, berisiko kehilangan fungsi indra pendengaran menjelang tahun 2050 ("VOA Indonesia", 4/3-2018).
Salah satu faktor yang menyebabkan kehilangan fungsi indra pendengaran adalah pertambahan penduduk lansia (lanjut usia) akibat dari pertambahan populasi dunia. Menjelang tahun 2050 diperkirakan penduduk dunia akan mencapai angka 9 miliar.
Namun, perlu juga diperhatikan faktor-faktor lain. Seperti disebutkan oleh Shelly Chadha, pejabat teknis di Departemen Pencegahan Ketulian dan Kehilangan Indra Pendengaran WHO, ada karena penyakit infeksi yang dialami semasa kanak-kanak, campak jerman atau penyakit gondong, meningitis dan infeksi telinga.
Chadha juga menyebut penyebab lain yaitu terpapar dengan suara bising, seperti musik dan kebisingan di tempat kerja. Di Indonesia, misalnya, banyak pengemudi sepeda motor dan mobil yang justru sengaja membuka saringan knalpot agar suara mesin bising. Seperti yang dialami penulis di jalan raya di depan rumah di malam hari ada warga yang mengendarai sepeda motor dengan suara bising yang sangat berisik dan sengara menggas agar suara keras.
Agaknya, orang-orang yang sengaja membuat suara kendaraan bermotor mereka berisiko karena gejala-gejala psikologis karena mereka tidak memikirkan telinga orang lain.
Kehilangan fungsi pendengaran ini tidak bisa dianggap remeh. Laporan WHO menyebutkan 466 juta penduduk dunia kehilangan pendengaran yang pada akhirnya harus bersentuhan dengan pengobatan dan peralatan untuk membantu pendengaran. Dana yang dihabiskan untuk biaya layanan kesehatan langsung dan kehilangan produktivitas karena kekurangan pendengaran setiap tahun mencapai 750 juta miliar dolar AS.
Namin, Chadha mengingatkan risiko kehilangan pendengaran bisa dicegah. Paling tidak dengan menyebarluaskan masalah ini ada upaya-upaya untuk menekan faktor penyebab sehingga menurunkan risiko kehilangan fungsi indra pendengaran.
Pada kasus-kasus tertentu ketika fungsi indra pendengaran tidak bisa dicetah, menurut WHO penderita dapat dibantu dengan teknologi seperti alat bantu dengar atau melalui tindakan implantasi. Peralatan alat bantu dengar ini memberikan manfaat yang besar bagi tunarungu karena mereka bisa melakukan komunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain.
Di Indonesia selain karena penyakit infeksi dan paparan suara bising gangguan pendengaran juga banyak terjadi karena sumbatan kotoran telinga (serumen prop). Laporan Kemenkes tahun 2013 menyebutkan serumen prop banyak terdapat pada anak-anak (depkes.go.id, 10/3-2013). Sumbatan serumen menyebabkan gangguan pendengaran sehingga akan mengganggu proses penyerapan pelajaran bagi anak sekolah.
Hasil survei cepat yang dilakukan oleh Profesi Perhati dan Departemen Mata FKUI di beberapa sekolah di enam kota di Indonesia, ternyata prevalensi serumen prop pada anak sekolah cukup tinggi yaitu antara 30-50 persen. Hal ini tentu akan sangat mengganggu dalam proses penyerapan pelajaran pada anak sekolah, maka, "Masalah ini harus segera kita tanggulangi bersama," kata Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof Dr Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, pada Peringatan Hari Kesehatan Telinga dan Pendengaran (HKTP) tahun 2013 (6/3) di Kemenkes.