Ketika pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo RI), mati-matian memblokir situs-situs porno pada waktu yang sama kalangan remaja dan orang dewasa memanfaatkan telepon genggam dan telepon pintar untuk bertukar pesan seks yang juga bisa dengan kualifikasi porno. Ini tentu tidak bisa diblokir.
Memang, kasus yang diteliti terkait dengan bertukar pesan dan foto seks terjadi di Kanada, tapi bisa saja hal itu sudah terjadi di Indonesia. Hanya saja belum muncul ke permukaan.
Laporan di "VOA Indonesia" (Studi: Bertukar Pesan Seksual Makin Lazim di Kalangan Remaja, 28/2-20118) menyebutkan satu dari empat remaja menerima pesan pendek atau SMS dan e-mail berisi pesan seksual secara eksplisit serta satu dari tujuh remaja mengirim pesan seksual yang lebih dikenal dengan istilah sexts atau sexting. Survei di Australia menunjukkan sexting mulai dilakukan oleh anak-anak dan remaja pada usia yang lebih muda (Baca juga: Sexting Dilakukan oleh Anak-anak pada Usia yang Kian Muda).
Yang jadi masalah, seperti dikatakan oleh Sheri Madigan, Institut Riset Rumah Sakit Anak-anak Alberta dan Universitas Calgary, Kanada, penulis utama riset tsb. yang dilansir "Reuters": Bahayanya, bila pesan-pesan ini dikirim secara paksa atau dibagikan tanpa izin, akan terasa seperti perisakan siber atau cyber bullying, yang sering menimbulkan konsekuensi kesehatan mental yang berbahaya.
Kemajuan teknologi dan semboyan 'zaman now' ibarat dua sisi mata uang. Di satu pihak membawa kemudahan dan keuntungan, tapi di pihak lain membawa keburukan. Terkait dengan media sosial kondisi ini terjadi ketika anak-anak, remaja dan kalangan dewasa tidak bisa membedakan kehidupan nyata dan kehidupan di dunia maya.
Dalam bahas Madigan, dia mengatakan: "Remaja sekarang sering kali tidak memisahkan kehidupan online dan offline mereka. Buat mereka semuanya sama," Bagi orang tua ini membingungkan. Remaja yang terlebat berkirim sexting biar pun yang terpaksa menerima tidak akan pernah memberitahukan hal itu kepada orang tua (Baca juga: Candu Baru Itu Bernama Media Sosial).
Menkominfo Rudiantara pun sepakat bahwa pemblokiran situs-situs porno tidak akan berhasil jika edukasi literasi dan media tidak berjalan dengan baik. Rudiantara berharap edukasi seksualitas dimulai dari lingkungan keluarga di rumah (Baca juga: Katakan Tidak untuk Situs Porno!).
Soalnya, seorang peneliti, Lisa Jones, di Pusat Riset Kejahatan Pada Anak, Universitas New Hampshire, Durham, NH, AS, mengatakan bahwa remaja menganggap kalangan dewasa sebagai pencemas dan bersikap berlebihan terkait dengan penggunaan teknologi. Celakanya, teknologi, dalam hal ini Interent dan ponsel, dipakai untuk kegiatan yang berisiko yaitu sexting. Bagi Jones sexting berisiko dan merugikan serta pontensial mendorong tindakan kriminal.
Terlepas dari kekurangan studi dan survei terkait dengan sexting, karena sexting sudah jadi masalah bagi sebagian orang maka perlu diskusi terbuka dengan remaja tentang dampak buruk sexting. "Remaja butuh orang dewasa yang bisa memberikan informasi yang akurat," kata Jones.