Lagi-lagi berita HIV/AIDS ini sama sekali tidak mencerahkan pembaca (baca: masyarakat) karena tidak membawa data yaitu 22 ibu hamil terdeteksi HIV-positif ke realitas sosial. Dengan judul "22 Ibu Hamil di Babel Positif Terjangkit HIV/AIDS" (bangka.tribunnews.com, 6/2-2018 yang bersumber dari bangkapos.com) sama sekali tidak ada informasi yang bermanfaat dalam berita ini.
Wartawan yang menulis berita itu lebih tertarik mengurai angka-angka terkait dengan kasus HIV/AIDS. Alm Gus Dur pernah mengatakan bahwa angka (statistik) ibarat bra (BH). Yang jauh lebih menarik bukan bra, tapi yang ada di balik bra. Artinya, bukan angka-angka kasus yang layak dikembangkan, tapi fakta di balik angka-angka tsb.
Judul berita itu pun tidak berbicara banyak. Tapi, kalau disebut "22 Suami di Babel Tularkan HIV ke Istri" memberikan gambaran ril ada 22 laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, di Babel yang mengidap HIV/AIDS. Jika ditarik ke epidemi HIV/AIDS 22 laki-laki itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Yang sudah terbukti ke istri mereka.
Andaikan ada di antara 22 laki-laki pengidap HIV/AIDS yang mempunyai istri lebih dari 1, tentulah ibu rumah tangga yang berisiko tertular HIV lebih banyak lagi. Jumlah yang berisiko tertular HIV akan bertambah kalau di antara 22 laki-laki itu ada biseksual (laki-laki yang tertarik secara seksual kepada perempuan dan kepada laki-laki), pelanggan pekerja seks komersial (PSK) dan pelanggan waria.
Realitas sosial inilah yang perlu diuraikan dalam berita agar masyarakat memehami penyebaran HIV. Dengan 22 ibu hamil mengidap HIV/AIDS berarti ada 22 bayi yang berisiko lahir dengan HIV/AIDS jika tidak segera ditangani oleh dokter.
Memang, baik sekali anjuran agar ibu hamil menjalani tes HIV. Tapi, jauh lebih arif dan baik lagi kalau yang tes duluan adalah suami jika hasil konseling pasangan menunjukkan perilaku seksual suami berisiko. Artinya, suami sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Pengalaman di Klinik VCT RSUS dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten, menunjukkan jika ada ibu hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS ketika suam diberitahu maka suami pun lari dengan meninggalkan istri serta anak-anaknya. Itu artinya suami-suami yang kabur itu jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Nah, kita ke Babel. Apakah suami dari 22 ibu hamil itu sudah menjalani tes HIV?
Kalau sudah tidak ada masalah. Tapi, kalau belum atau tidak mau tes HIV baru masalah besar karena suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV di Babel.
Disebutkan bahwa Dinas Kesehatan Babel melakukan gerakan mobile VCT (Voluntary Counselling and Testing) yaitu tes HIV dengan sukarela setelah menerima konseling. Tapi, perlu diingat bahwa tes HIV adalah langkah di hilir. Artinya, warga sudah tertular HIV. Yang diperlukan adalah pencegahan di hulu agar tidak ada lagi warga Babel yang tertular HIV. Sayang, tidak ada penjelasan dalam berita apa langkah Pemprov Babel untuk mencegah infeksi HIV baru di hulu.
Di bagian lain wartawan mewawancarai Kepala Kementrian Agama Provinsi Bangka Belitung, Muhammad Ridwan. Dalam kaidah jurnalistik narasumber ini tidak kompeten karena HIV/AIDS bukan bidang keahlian narasumber tsb. Ini disebut salah nalar.
Terbukti penjelasan Muhammad tidak akurat. Dia mengatakan bahwa HIV menyebar melalui hubungan seks bebas apalagi di kalangan Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgenser (LGBT).
Judul berita ini saja jelas menyebutkan ibu hamil tentulah ada suaminya yaitu laki-laki heteroseksual. Ada juga kemungkinan laki-laki biseksual. Tapi, gay jelas tidak menyebarkan HIV ke masyarakat umum di luar komunitas gay. Sedangkan lesbian belum ada laporan kasus penularan HIV melalui aktivitas seksual lesbian.
Sebaliknya pada transgender (waria) pelanggan mereka justru laki-laki heterosekual yang mempunyai istri. Sebuah studi di Surabaya menunjukkan suami-suami yang melakukan hubungan seksual dengan waria justru ada pada posisi sebagai 'perempuan'. Itu artinya suami-suami itu dianal (di kalangan waria disebut ditempong) oleh waria sehingga risiko tertular HIV dan penyakit-penyakit menular seksual, seperti sifilis, kencing nanah, dll. lebih besar.
Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, melacur, dll.), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Tanpa penanggulangan yang realistis, penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H