"Pemimpin Muda Terjerat Korupsi." Ini judul berita di Harian "KOMPAS" (3/2-2018). Kondisi itu sangat buruk karena menyangkut moralitas pemimpin publik. Tapi, korupsi di semua kalangan akan terus terjadi karena tidak ada jerat hukum yang bisa bikin kapok.
Kalau dari aspek kepercayaan dan keyakinan korupsi tidak akan bisa dihilangkan karena banyak faktor, misalnya, ada yang mengatakan korupsi tidak dilarang secara eksplisit. Sedangkan Gus Dur pernah mengatakan kepada Teten Masduki, waktu itu aktivis anti korupsi, bahwa orang-orang beragama tahu benar cara-cara bertobat dan menghapus dosa di dunia sehingga tidak takut dosa kalau korupsi.
Catatan "KOMPAS" menunjukkan tahun 2016-2018 ada 3 gubernur terjerat kasus korupsi dan 16 bupati/walikota. Angka ini bisa saja terkait dengan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) yaitu kasus yang terkuak digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus korupsi yang tidak terkuat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Terlepas dari faktor-faktor yang mendorong pemimpin muda ambil jalan pintas dengan 'merampok' uang negara (baca: rakyat), yang jelas sanksi pidana berupa kurungan hanya 'seumur jagung' sehingga tidak jadi pertimbangan logis bagi (calon-calon) koruptor.
Belakangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut aliran uang korupsi untuk jeratan TPPU (tidak pidana pencucian uang) sehingga hukuman bagi koruptor bisa belasan tahun. Tapi, ini pun tidak menaktkan bagi calon koruptor karena jika selesai menjalani hukuman masih ada sisa umur untuk menikmati kehidupan duniawi dengan kemewahan.
Di masyarakat sendiri terjadi ambiguitas yang justru jadi penghambat upaya memberantas korupsi yaitu menolak dan menerima. Yang menolak pun sebagian orang melakukannya jika korupsi dilakukan 'orang lain' sebaliknya kalau koruptor dari lingkungan keluarga diterima dengan tangan terbuka. (Baca juga: Memberantas Korupsi Mulailah dari Lingkungan Keluarga).
Artinya, sanksi sosial terhadap koruptor tidak ada. Bahkan, ada partai politik yang justru memecat anggotanya karena mengaku menerima suap. Ini dialami oleh Agus Condro yang mengaku menerima cek perjalanan dalam kasus pemilihan Deputy Gubernur BI (Baca juga: Pejabat Publik Korupsi, Nyabu, Mana Tanggung Jawab Parpol Pengusung?).
Ketika partai politik berpihak pada koruptor, maka praktek-praktek kotor untuk merampok uang rakyat pun sudah jadi kebiasaan karena tidak jadi persoalan moral dan hukum lagi. Perlu juga merevisi UU Parpol dengan memuat pasal pembubaran secara otomatis dengan ukuran jumlah kasus korupsi yang melibatkan kader atau pejabat publik yang diusung.
Kondisinya kian runyam karena keluarga dan masyarakat pun tidak malu ketika ada suami, istri, menantu, kerabat atau tetangga yang terlibat korupsi. Penjara atau bui yang diperhalus dengan sebutan lembaga pemasyarakatan pun bukan lagi tempat yang jelek bagi sebagian orang karena banyak cerita tentang kehidupan di balik jeruji yang justru tidak menakutkan. Untuk itulah selain pidana kurungan perlu juga diterapkan pidana sosial, seperti diperkejakan di rumah yatin piatu, rumah jompo, dinas kebersihan, dll. (Baca juga: Pidana Kerja Sosial Memupus Kepura-puraan Napi dan "KKN" Remisi).
Dengan kondisi korupsi yang sudah jadi 'bagian hidup' bagi setengah orang, sudah saatnya memberlakukan pembuktian terbalik terkait dengan harta kekayaan. Setiap sen yang diterima harus bisa dibuktikan asal-usulnya.
Langkah ini akan jadi batu sandungan bagi orang-orang yang menjadikan penipuan, suap dan korupsi. KPK sendiri sudah menjalakan prinsip pembuktian terbalik melalui penerapan TPPU (Baca juga: Mewujudkan Tantangan Ahok, Membuktikan Harta Kekayaan dengan UU Pembuktian Terbalik dan Kian Mendesak UU Pembuktian Terbalik untuk Cegah Korupsi dan Penggelapan Pajak).