"Wabah HIV yang menghancurkan suku asli di Amerika Latin." Ini judul berita di "BBC Indonesia" yang tayang pada 29 Januari 2018. Diberitakan bahwa sebuah suku yang hidup di bagian timur Venezuela, Warao, hanya terdiri atas perempuan karena semua laki-laki meninggal. Suku-suku lain tidak ada yang mau menikah dengan perempuan Warao. Ada anggapan suku ini dapat 'kutukan berat'. Tapi kalangan ahli bisa menjelaskan kondisi itu secara ilmiah.
Kematian laki-laki suku Warao bukan karena 'kutukan berat', tapi mereka meninggal karena penyakit-penyakit yang terkait dengan infeksi HIV.
Silent Disaster
Seorang dokter Belanda, Jacobus de Waard (Institute of Biomedicine di Venezuela's Central University) yang praktek pengobatan di kalangan suku Warao sejak tahun 1993 mengatakan laki-laki berusia 16-23 tahun tertular HIV. Memang, insiden hanya berkisar 10 persen di komunitas. Laporan UNAIDS (Badan Khusus PBB yang menangani AIDS) prevelansi HIV di kawasan lain di Venezuela hanya 0,6 persen.
Namun, jumlah anggota komunitas suku-suku itu juga sedikit sehingga angka 10 persen dan privelensi 0,6 persen di wilahan lain sangatlah besar sehingga epidemi HIV bagaikan 'mesin pembunuh' dalam kondisi 'silent disaster' (bencana terselubung).
Pakar-pakar epidemilogi akhirnya sampai pada kesimpulan: "Membayangkan masa depan suku ini menakutkan. Jumlah mereka terus berkurang dengan berarti, dan skenario yang memungkinkan adalah mereka akan musnah." Ini sudah terjadi di beberapa negara di Afrika. Desa-desa hilang karena tidak ada lagi penghuninya.
Jika kondisi itu kita tarik ke Indonesia tentulah sangat berlasan kalau ada kekhawatiran kelangsungan hidup suku-suk asli di Nusantara. Â Pada sebuah pelatihan untuk wartawan tentang penulisan berita HIV/AIDS yang komprehensif di Jayapura, Papua pada Oktober 2005. Pengajar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Jakarta, dokter Zulazmi Mamdy, MPH bersama penulis mengatakan kalau orang Jawa, Batak, Sunda, Bugis, dll. yang merantau ke Tanah Papua mati karena AIDS, nun di daerah Jawa, Tapanuli, Jabar dan Sulsel masih banyak orang Jawa, Batak, Sunda dan Bugis. Tapi, kalau suku-suku di Papua habis karena penyakit terkait AIDS, maka ada suku yang tidak ada di luar Papua. Kepunahan suku karena penyakit terkait AIDS sudah terjadi di Afrika (Baca juga: Menyelamatkan (Suku-suku) Tanah Papua dari Ancaman AIDS).
Laporan "tabloidjubi.com" (19/5-2009) menyebutkan laki-laki Asmat dan Mappi memakai uang hasil penjualan kayu gaharu untuk membayar layanan seks dengan pekerja seks komersial (PSK) dan menikmati hiburan di bar yang juga penuh dengan perempuan penghibur. Disebutkan distrik Ecy atau Asgon ada 35 PSK dan Atsy sebanyak 54 PSK, juga di Kampung Waganu sebanyak 250 PSK. Sebagian datang dengan germo dan pengusaha yang antara lain membeli kayu gaharu yang harganya ketika itu antara Rp 300.000-Rp 10 juta per kilogram.
Yang dikhawatirkan pola di Papua di-copy paste di daerah lain sehingga suku-suku asli dengan populasi yang kecil sangat mudah punah. Suku-suku asli menjual hasil bumi, madu dan barang kerajinan. Mereka keluar dari komunitas ke masyarakat luar yang terbuka dengan segala macam perilaku, antara lain. perilaku seksual yang berisiko tertular HIV.
Kehidupan suku-suku asli di Indonesia sudah dirusak oleh orang-orang yang merasa dirinya lebih berbudaya, lebih bermartabat, dan lebih beragama.
Suku Kubu di Jambi, misalnya, menghadapi dilema karena anak-anak yang bersekolah forma' ditolak oleh masyarakat di luar suku. Mereka tidak perlu diintervensi dengan pendidikan modern karena belajar di alam dan dari alam. Yang perlu dilakukan adalah tidak mengganggu habitat mereka.