Selalu saja ada kendala dalam mempertahankan persediaan pangan, dalam hal ini beras, sehingga pemerintah terpakasa mengimpor beras untuk menghambat lonjakan harga. Sejak kemerdekaan tidak ada langkah konkret untuk mewujudkan ketersediaan beras. Bahkan, lahan persawahan di daerah-daerah dengan irigasi teknis, seperti di Pulau Jawa, beralih fungsi jadi permukiman, kawasan industri, dll.
Laju alih fungsi lahan di Indonesia sangat tinggi sehingga mengancam luas lahan sawah beririgasi teknis. Data Kementerian Pertanian menunjukkan luas lahan sawah 44% berada di Pulau Jawa memiliki luas lahan sawah 3,4 juta hektar, dari total persawahan di Indonesia mencapai 7,74 hektar. Tapi, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, Â terhadap data BPS pada 2003-2013 menunjukkan 508.000 hektar lahan pangan telah berpindah kepemilikan (BBC Indonesia, 27/8-2017),
Dengan laju konversi lahan sawah beririgasi teknis ke lahan non-sawah yang sangat tinggi, sayang sama sekali tidak ada upaya untuk mengganti lahan yang beralih fungsi secara konsisten. Pencetakan lahan sawah baru tidak otomatis menggantikan hasil produksi lahan sawah irigasi teknis yang beralih fungsi.
Pemerintahan Jokowi-JK membuat terobosan untuk mewujudukan kedaulatan beras yaitu dengan membangun bendungan di banyak daerah. Soalnya, banyak lawan sawah yang hanya mengharapkan air hujan yang belakangan ini justru tidak lagi sesuai musim yaitu kemarau dan hujan karena kerusakan ekosistem juga dialihfungsikan jadi tambang dan tanaman kelapa sawit yang justru penyedot air.
Patut dipertanyakan slogan swasembada beras yang pernah mendapat penghargaan dari Badan Pangan PBB (FAO). Ada kemungkinan swasembada hanya di atas kertas yaitu berupa perkalian hasil lahan percontohan (demplot) dengan luas sawah di Indonesia. Padahal, tidak semua sawah menghasilkan padi sebanyak produksi demplot.
"Untuk menstabilkan harga beras yang melonjak di atas harga eceran tertinggi (HET), pemerintah sepakat mengimpor beras hingga musim panen tiba." (Harian "KOMPAS", 11/1-2018). Jika ini alasan yang dipakai, maka impor akan terus-menerus terulang selama produksi padi tidak mendukung kebutuhan pangan nasional. Indonesia mengimpor 500.000 ton beras.
"Jangankan untuk memenuhi kebutuhan ratusan juta rakyat, sekaligus mengekspor beras pun bisa," kata Prof. Dr. Rindit Pambayun, Guru Besar Ilmu Pangan Unsri, Palembang. "Untuk memenuhi kebutuhuan dunia pun bisa," ujar Prof Rindit, yang juga Ketua Umum Perhimpuan Ahli Teknologi Pangan (Patpi), kepada penulis pada acara malam inagurasi "Danone Blogger Academy" di Hotel Santika Premiere, Jakarta, 16/12-2017.
Dari pengalamannya berkunjung ke banyak negara sektor pertanian hanya bisa diandalkan jika dijalankan dengan mesin. Untuk itulah Prof Rindit berharap ada langkah-langkah konkret dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk melalukan advokasi kepada pemilih lahan sawah untuk menyerahkan pengelolaan kepada pemerintah.
Pemilik lahan tidak perlu takut soal batas sawahnya karena dengan teknologi luas dan batas sawah seseorang yang masuk dalam 'paguyuban' yang secara faktual berupa rice estate dapat dicek melalui GPS (Global Positioning System), yaitu sistem navigasi berbasis satelit. "Batas lahan sawah yang masuk dalam area rice estate secara faktual bisa dilihat melalui GPS dengan sangat rinci," kata Prof Rindit.
Dengan mekanisasi pengolahan sawah jauh lebih efektif dan efisien mulai dari pengolahan tanah, menaman benih, panen sampai pengupasan. Selanjutnya distribusi beras juga harus ditangani agar program nasional 'tidak mencuci beras'bisa dijalankan. Untuk itulah sejak pengolahan lahan sempai ke pedagang eceran harus ada standardisasi agar kualitas dan kebersihan besar terjamin (Baca juga: Gerakan Nasional Tidak Mencuci Beras).
Di sepanjang delta Sungai Mekong, menurut Prof Rindit, lahan jadi sumber utama penghasil padi. Di Indonesia banyak lahan sawah yang datar sehingga sangat memungkinkan dikerjakan secara mekanis setelah masuk dalam ranah rice estate. Bisa saja dengan sistem bagi hasil atau sewa lahan. Semua tergantung dari hasil rembug antara pemeirntah dan petani.