Sekitar 8,9 juta anak Indonesia menderita pertumbuhan yang tidak maksimal sampai usia dua tahun, disebut stunting. Tiap tahun ada 4,3 juta kelahiran. Ada risiko anak lahir dengan stunting jika nutrisi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) tidak mencukupi. Ada juga risiko anak lahir dengan HIV/AIDS karena 4,9 juta perempuan Indonesia bersuamikan laki-laki pelanggan pekerja seks komersial (PSK).
Dampak buruk malanutrisi atau kurang gizi pada 1000 HPK mempengaruhi kualitas perjalanan kehidupan mulai dari di kandungan, masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa sampai lansia. 1000 HPK bisa juga disebut sebagai awal dari perjalanan panjang jenjang kehidupan yang dimulai sejak pembuhan. Â Â
Bonus demografi yang diharapkan menghasilkan generasi yang produktif justru bisa jadi malapetaka jika terjadi malanutrisi pada 1000 HPK karena anak lahir dengan stunting al. ditandai dengan tubuh yang pendek di bawah ukuran normal, sehingga mudah sakit-sakitan  dan kemampuan kongnitif yang sangat rendah. Ini bukan bonus tapi 'bencana demografi'.
Matematika dan Sains
Sindroma stunting baru bisa diketahui setelah anak berusia dua tahun sehingga sering luput dari perhatian. Â Bahasa yang dipakai "Danone Manifesto" (We Can Make a Change, tt) yang menyebut 1000 HPK Â sebagai 'priode emas penentu kesehatan di masa depan' jadi aktual. Soalnya, dampak malanutrisi jangka pendek membuat perkembangan otak, fisik dan organ metabolik tidak optimal. Jika malanutrisi dibiarkan jangka panjang menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan penddikan, terjadi stunting, serta berbagai penyakit degeneratif (tidak menular).
Untuk itulah Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K), Dokter Spesialis Anak - RSCM/FKUI,mengingatkan ada dampak yang ireversibel (permanen) jika terjadi malanutrisi pada 1000 HPK. Ini disampaikan Dr Damayanti pada pemberian materi bagi 20 blogger peserta "Danone Blogger Academy" bersama Kompasiana di Kantor Danone Indonesia, Gedung Cyber 2, Kuningan, Jakarta Selatan (3/11-2017). Sindroma stunting secara klinis pada anak, seperti dikutip Dr Damayanti dari Branca & Ferari, 2002, yaitu hambatan perkembangan, penurunan fungsi kekebalan, penurunan fungsi kognitif, dan gangguan sistem pembakaran lemak yang bermuara pada dewasa sebagai obesitas, penurunan toleransi glukosa, penyakit jantung koroner, hipertensi dan osteoporosis.
Asupan nutrisi jadi penting pada 1000 HPK karena nutrisi berperan dalam pengembangan penglihatan, berbicara, emosi, matematika/logika, keterampilan sosial, motorik, keterampilan sosial sebaya, dan bahasa. Dr Damayanti pun wanti-wanti agar nutrisi atau gizi pada 1000 HPK jadi perhatian bersama karena ada 4,3 juta bayi yang lahir setiap tahun yang harus dijaga kualitas hidupnya dengan pemberian nutrisi dalam 1000 HPK mulai di kandungan, pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (MPASI).
Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa (obesitas). Kemampuan kognitif para penderita stunting juga berkurang mengakibatkan kerugian besar bagi negara.
Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6 persen) dan 2007 (36,8 persen). Berarti ada sekitar 8,9 juta (1 dari 3) anak-anak di Indonesia menderita stunting. Angka ini di bawah Myanmar 35 persen, Vietnam 23 persen, dan Thailand 16 persen (mca-indonesia.go.id). Menkes Nila Moeloek mengatakan dalam tiga tahun terakhir ada  sekitar 9 juta anak di Indonesia yang mengalami stunting (nasional.tempo.co, 12/7-2017). Ini beban bagi pemerintah karena mereka akan menghadapi risiko penyakit degeneratif yang membutuhkan pengobatan.
Pola Pengeluaran