"Fenomena Baru di Depok, Mayoritas Suami Istri Bercerai karena Medsos" Ini judul berita di kompas.com (30/9-2017).
Kok bisa? Â Â Â
Dilaporkan bahwa jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Depok, Jawa Barat, periode Agustus 2017 mencapai 157. Berdasarkan data persidangan mayoritas perceraian terjadi karena kecemburan yang bermula dari media sosial. Masyarakat Indonesia sudah sangat akrab dengan Facebook, Twitter, Instagram, dll. sehingga meninggalkan telepon rumah dan surat-menyurat.
Setelah ujaran kebencian (hate speech), SARA, hoax dan penyebaran fitnah merajai media sosial yang bermuara di meja hijau, ternyata dampak atau efek buruk media sosial kini juga sudah menyentuh kehidupan rumah tangga. Kasus ujaran kebencian dan fitnah yang berakhir di balik jeruji besi sudah puluhan.
Dunia perpolitikan nasional pun dirasuki oleh penggunaan media sosial yang disalahgunakan. Fitnah, ujaran kebencian, hoax dan SARA dijadikan alat politik menyerang lawan dengan memakai  'kenderaan' media sosial.
Di China sudah ada pusat rehabilitasi bagi orang-orang yang kecanduan atau adiksi media sosial, Begitu juga dengan di Amerika Serikat sudah mulai ada pecandu media sosial yang mencari terapis (Candu Baru Itu Bernama Media Sosial).
Media sosial memang bukan main. Hanya dengan mengetik belasan kata bisa langsung disebarkan ke ribuan orang sekaligus dalam hitungan detik. Yang menerima pesan itu pun ada pula yang menyebarkannya lagi. Begitu seterusnya sehingga pesan tersebar secara berantai dengan hitungan deret ukur.
Karena pemahaman yang sangat rendah terhadap dampak buruk media sosial banyak orang yang kemudian tidak menyadari akibat yang akan muncul dari informasi yang disebarkannya melalui media sosial. Apresiasi setengah orang terhadap media sosial sangat rendah karena tidak ada pembelajaran terkait dengan efek buruk media sosial.
Orang pun ber-media sosial-ria tanpa memikirkan dampaknya. Seperti dikatakan oleh Panitera Pengadilan Agama Kota Depok, Entoh Abdul Fatah, perceraian karena kecemburan berdasarkan status di media sosial merupakan fenomena baru karena selama ini perceraian banyak terjadi karena faktor ekonomi.
Kecemburuan, menurut Entoh, bermula ketika ada status di media sosial, seperti di Facebook, yang bernada romantis muncullah kecemburuan yang berujung pertengkaran. Ketika pertengkaran memuncak penyelesaian pun menuju ke perceraian.
Asosiasi Pengacara Pernikahan Amerika Serikat (American Association of Matrimonial Lawyers) menyebutkan ada bukti bahwa media sosial berperan dalam 81 persen kasus perceraian (theburdettelawfirm.com/social.php). Untuk itu asosisi ini memberikan tips berupa ujaran 'kata-kata bijak' di media sosial agar terhindar dari perceraian karena status di media sosial.