Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sekarang (Baru) Ada Kuota Khusus untuk CPNS Difabel!

18 September 2017   10:21 Diperbarui: 18 September 2017   18:25 2397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini negara, dalam hal ini pemerintah, selalu mengabaikan hak-hak kalangan difabel untuk bisa menjadi pengawai negeri sipil (PNS) karena salah satu persyaratan mutlak adalah: tidak cacat fisik.

Alangkah murkanya YMK karena penolakan terhadap difabel sama saja dengan mengabaikan 'pemberian' kepada saudara kita yang lahir dengan berkekurangan bagian fisik. Adalah kecongkakan hanya karena diberi fungsi organ tubuh yang sempurna lalu mengabaikan hak saudara kita yang berkekurangan fungsi organ tubuhnya.

Apakah yang kakinya lumpuh tidak bisa menjadi operator telepon atau penerima tamu?

Memang, jadi aneh di negeri ini. Semua orang harus bisa bertempur yang berarti tidak cacat fisik. Di kampus ada resimen mahasiswa (Menwa), yang terkadang, maaf, over acting dengan menempatkan diri sebagai pelindung negeri. Saya pernah jadi korban ketika dilaporkan ke aparat keamaman dengan tuduhan rapat gelap, padahal sebagai mahasiswa sospol tentulah diskusi menyangkut politik. Mosok mahasiswa sospol diskusi inrtensifikasi ternak sapi.

Tepat sekali yang dikatakan oleh alm. Sartono Mukadis, psikolog UI, bahwa kalangan difabel bukan untuk dikasihani tapi memberikan peluang dan kesempatan sesuai dengan kemampuan mereka. "Difabel tidak otomatis harus jadi pengemis," kata Sartono di tahun 1980-an dalam wawancara untuk bahan liputan.

Pengalaman Sartono ketika naik kapal terbang ke Batam dari Jakarta menunjukkan betapa kesan buruk diberikan kepada difabel. Almarhum memakai kursi roda karena salah satu kakinya diamputasi. "Siapa yang menemani, Pak," tanya pramugari di pintu masuk kapal terbang. Lalu, apa kerja petugas dan pramugari?

Nah, ketika menunggu penerbangan ke Jakarta di Bandara Internasional Sydney, Australia (tahun 2001), salah seorang teman, kami rombongan yang pulang dari Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) di Melbourne, duduk di kursi roda. Tiba-tiba petugas yang memakai mobil listri mendadak mengerem di depan kami.

"Siapa keluarga atau temannya?" kata petugas sambil mendekati teman perempuan memakai jilbab yang duduk di kursi rosa. Petugas tadi pergi ke pintu masuk arah kapal terbang dan menunjuk-nunjuk petugas di sana. Tidak lama kemudian teman tadi didorong ke dalam kapal terbang. "Tenang, teman kalian sudah aman di dalam," kata petugas tadi sambil melanjutkan tugasnya.

Rasanya yang dilakukan petugas bandara tadi baik mimpi di siang bolong kalau hal itu terjadi di bandara-bandara di Nusantara.

Sebagai perekrut tenaga kerja melalui sebuah biro yang dipimpinnya waktu itu, Sartono mengatakan bahwa kalangan difabel bisa mengisi lowongan-lowongan yang sesuai dengan kapasitas mereka. Misalnya, operator telepon, juru ketik, penjaga mesin fotocopy, petugas di perpustakaan, dll.

Maka, amatlah repat kalau kemudian ada kuota untuk CPNS seperti yang dilansir "VOA Indonesaia" (13/9-2017): "Kuota CPNS untuk Difabel Kebijakan Positif." Dari 17.928  CPNS untuk 60 lembaga dan 1 pemerintahan provinsi ada kuota 166 (0,93 persen). Memang, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pemerintah diwajibkan memberikan kuota 2 persen bagi difabel dalam setiap proses penerimaan CPNS. Paling tidak langkah pemerintah yang baru memberikan jatah 0,93 persen merupakan sinyal positif.

Ada juga kuota untuk putra-putri Papua dan Papua Barat sebanyak 196. Ini juga masuk akal karena berbagai faktor yang membuat mereka jauh tertinggal dari saudara-saudaranya di pulau lain.

Pernyataan Muhammad Joni Yulianto, Sigab Indonesia, yang mengatakan " .... pemerintah tidak semestinya mengkotak-kotakkan jenis disabilitas yang dapat melamar di sebuah posisi" tidaklah pas karena bagaimanapun kalangan difabel 'kan mempunyai keterbatasan sehingga perlu juga mengatur posisi yang pas bagi mereka agar tidak jadi beban.

 Kebijakan Kementerian  Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  (Kemen PAN-RB) patut juga ditiru oleh pemerintah-pemeintah daerah agar kalangan difabel bisa menghidupi diri sendiri sehingga tidak harus menadahkan tangan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun