Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Larangan Warga Daerah Datang ke Jakarta

28 Juni 2017   22:07 Diperbarui: 30 Juni 2017   04:19 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Jokowi dan Wakil Gubernur Ahok angin segar bertiup karena gubernur-gubernur sebelumnya selalu melakukan razia terhadap pendatang. Celakanya, yang dirazia hanya rakyat miskin di terminal bus bumel, sedangkan pendatang dengan kereta api (KA), kapal laut, dan kapal terbang lolos dari razia. Tidak sampai di situ razia terhadap pendatang yang diskriminatif, dibalut dengan bahasa hukum "Operasi Yustisi", juga hanya menembak rakyat miskin di kontrakan kumuh.

Pola pikir yang manusiawi dengan pijakan nalar yang dijalankan Jokowi/Ahok dilanjutkan Ahok yaitu tidak melarang siapa saja datang ke Jakarta. Tidak perlu pendidikan tinggi dan keahlian seperti yang disyaratkan gubernur sebelumnya dan gubernur sekarang serta wakil gubernur yang akan datang.

Jakarta Kota Terbuka
Kaum urban menyasar sektor-sektor informal yang justru jadi sokoguru perekonomian Jakarta. Sehingga tidak perlu ada pembatasan yang membelenggu hak-hak warga negara.

Ini pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seperti dikutip news.liputan6.com (15/2-2016): "Jakarta terbuka untuk semua. Dulu ada istilah kalau mudik terus jangan bawa orang ke Jakarta. Tapi saya bilang boleh datang ke Jakarta asal bekerja." Untuk bekerja tidak harus ada pendidikan tinggi dan keahlian khusus karena banyak sektor yang tidak memerlukan keahlian dan sangat dibutuhkan oleh Pemprov DKI, seperti tenaga kebersihan, PRT, dll.

Di bagian lain Ahok menegaskan, "Jakarta itu tak pernah tertutup. Jika orang bisa menghasilkan uang, bisa berkarya harus diundang, karena ini ibu kota milik kita bersama." Sayang, gubernur sebelum Jokowi/Ahok dan Ahok/Djarot serta setelah Ahok hanya memakai otak semata dalam menyikapi pendatang yang akhirnya mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan, keadilan, hukum dan hak asasi manusia (HAM). Ini bisa terjadi karena Jokowi/Ahok dan Ahok memakai nalar tidak hanya sebatas otak semata karena kalau hanya dengan otak semua makhluk hidup juga memakai otak.

Tapi, Ahok juga mengingatkan bahwa pendatang harus mematuhi aturan. Seperti disebutkan Ahok semasa dia jadi wakil gubernur, seperti dikutip beritasatu.com (12/8-2013): Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyatakan Kota Jakarta tidak tertutup bagi warga daerah lain yang ingin sekadar berkunjung. Tetapi jika ingin menetap menjadi warga Jakarta, harus mengikuti seluruh aturan yang ada termasuk aturan administrasi kependudukan. Kalau melanggar aturan, warga tersebut harus siap dipidanakan.

Jauh berbeda dengan Ahok inilah pernyataan Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, seperti dilaporkan KOMPAS.com berjudul "Djarot: Setelah Mudik, Tidak Perlu Bawa Saudara Datang ke Jakarta" (14/6-2017) yang meminta warga yang mudik pada Lebaran 2017 tidak membawa sanak saudaranya saat kembali ke Jakarta. Djarot ingin menekan angka urbanisasi agar penduduk Jakarta tidak semakin padat.

Pertanyaan yang sangat mendasar terhadap Gubernur Djarot adalah: apakah hal serupa disampaikan kepada pemudik di stasiun kereta api, pelabuhan dan bandar udara? Jika tidak, itu artinya cara Gubernur Djarot tersebut merupakan bentuk diskriminasi yang menyuburkan stigma terhadap pendatang miskin.

Betapa rendahnya martabat dan harkat kaum urban miskin sehingga mereka dilarang membawa sanak saudara ketika kembali dari mudik. Sementara kalangan menengah ke atas yang memakai moda transpotasi mobil pribadi, kereta api, kapal laut dan kapal terbang dengan leluasa membawa sanak saudara bahkan calon sopir dan pembantu.

Maka, pernyataan Gubernur Djarot ini adalah perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap HAM karena tidak ada UU nasional, regional dan internasinal yang melarang seseorang membawa saudara atau orang lain asalkan tidak melawan aturan. Jika ada peraturan daerah (Perda) di Jakarta dan daerah lain yang melarang warga daerah lain masuk ke daerahnya itu jelas melawan hukum karena tidak ada UU yang melarang seseorang berkunjung atau menetap di satu daerah di Indoensia.

Mendorong Dinamika Masyarakat
Begitu juga dengan Sandiaga seperti dikutip KOMPAS.com (18/6-2017): Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta Sandiaga Uno berpesan kepada para pendatang di Jakarta agar sudah mempersiapkan diri dengan sejumlah keahlian sebagai daya saing dalam bekerja.

Apakah Gubernur Djarot dan Wagub terpilih Sandiaga mempekerjakan PRT dengan sejumlah keahlian? Apakah tukang sampah di lingkungan mereka juga punya sejumlah keahlian khusus?

Cobalah berkaca ke Amerika Serikat yang setiap tahun mendatangkan 50.000 orang (kecuali dari beberapa negara) dengan berbagai latar belakang, pendidikan, pekerjaan, sifat, kecenderungan psikologis, dll. Manusia-manusia ini diperlukan untuk mendorong dinamika masyarakat dan memecah tembok homogenitas yang cenderung statis.

Laporan VOA Indonesia (22/6-2017) menyebutkan berdasarkan hasil sensus terbaru menunjukan terjadi keberagam di Amerika Serikat. Semua ras dan kelompok etnis berkembang di Amerika selama tahun lalu, akan tetapi populasi keturunan Asia dan Hispanik terus menjadi kelompok yang paling pesat pertambahannya.

Kaum urban yang datang ke Jakarta untuk mengadu nasib akan mencari pekerjan apa saja karena di desa nyaris tidak ada lagi pekerjaan. Menggembala ternak tidak ada lagi karena lahan sudah dikuasai orang-orang kota. Mengolah sawah sudah memakai traktor tangan. Lahan milik keluarga kian menciut karena dibagi anggota keluarga.

Apakah Djarot dan Sandiaga mengetahui bahwa warga di banyak desa, tertuma di Pulau Jawa, sudah tercerabut dari akar sosial mereka karena lapangan pekerjan yang sangat sempit?

Kesalahan bukan pada kaum urban, tapi pemegang tampuk pemerintah yang selama ini, sebelum Presiden Jokowi, yang hanya membangun di pusat-pusat pemerintahan dan ekonomi sehingga yang terjadi adalah "Jawa sentris".

Maka, Presiden Jokowi pun membalik paradigma pembangunan yaitu "mulai dari pinggir" sehingga yang terjadi adalah pembangunan dengan skala "Indonesia sentris". Jika program Presiden Jokowi ini terwujud, maka Jakarta pun akan ditinggalkan kaum urban dan akan terjadi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor informal. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun