Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kejanggalan Sudut Pandang dalam Pemberitaan Pusat Kebugaran di Kelapa Gading

23 Mei 2017   17:46 Diperbarui: 24 Mei 2017   12:13 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Moral adalah 'kacamata' (baca: sudut pandang) yang dipakai banyak kalangan terkait dengan penggerebekan Polres Jakarta Utara terhadap, disebut-sebut pesta gay bertajuk :”The Wild One” (The Wild One adalah judul lagu penyanyi rock cewek AS, Suzi Quatro, yang dirilis tahun 1974) di sebuah ruko yang dijadikan pusat fitness di Kelapa Gading, Jakarta Utara (21/5-2017). Akibatnya,  hujatan pun bertubi-tubi terhadap laki-laki yang terjaring razia polisi  itu.

Kegiatan seperti itu tidak otomatis hanya diramaikan oleh gay (laki-laki dengan orientasi seksual yaitu homoseksual yakni laki-laki yang hanya tertarik secara seksual kepada sejenis, dalam hal ini laki-laki). Tahun 2003 penulis mengikuti kongres kesehatan seksual di Manila, Filipina. Oleh seorang teman penulis diajak ke klub gay, waktu itu menampilkan laki-laki sebagai penari telanjang (striptease). Benar saja di sana juga ada laki-laki heteroseksual dan perempuan, mereka mengaku sebagai lesbian), karena itu merupakan hiburan malam.

“Pesta gay” yang dirazia polisi itu dilakukan di ruangan tertutup sehingga tidak pas disebut sebagai pornoaksi atau pornografi seperti yang dituduhkan polisi terhadap 141 laki-laki yang terjaring pada operasi itu. Yang terjaring memang semua laki-laki tapi mereka tidak otomatis gay. Ada heteroseksual dan biseksual.

Yang tidak masuk akal ada yang mempublikasi nama dan foto laki-laki yang ditangkap. Ini merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran HAM karena tidak taat asas praduga tak bersalah (presumption of innocenceyang berlaku dalam kaidah hukum pidana secara internasional.

Polisi kemudian menetapkan 10 di antara 141 laki-laki yang terjaring operasi itu sebagai tersangka dengan tuduhan melawan hukum sesuai dengan UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi yakni pasal 30 jo pasal 4 ayat 2 dengan tuduhan membantu kegiatan asusila.

Pemberitaan di media pun sangat beragam, tapi semua cenderung memakai moral sebagai sudut pandang. Celakanya, banyak wartawan yang menulis berita tentang operasi polisi itu dengan baju moralitas dirinya sendiri sehingga tidak objektif. Misalnya, menyebut kegiatan itu sebagai kegiatan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Ini keliru karena yang ditangkap polisi semua laki-laki sehingga tidak ada lesbian dan transgender di sana.

Dari aspek epidemiologi IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, al. raja singa/sifilis, kencing nanah/GO, virus hepatitis B, virus kanker serviks, clamidia, jengger ayam, dll.) dan HIV/AIDS laki-laki gay tidak potensial sebagai penular IMS dan HIV di masyarakat. Bandingkan dengan laki-laki heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung dengan indikator istri-istri yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. 

Yang jadi persoalan besar kalau di antara 141 laki-laki itu ada biseksual sehingga jadi jembatan penularan IMS dan HIV dari masyarakat ke kelompok gay dan sebaliknya, serta menularkan ke istrinya (horizontal) yang berakhir ke anak yang dikandung istrinya kelak (vertikal).

Ada pula wartawan yang mewawancarai tetangga salah satu tersangka yaitu penari telanjang di pesta itu. Disebutkan tetangga tidak curiga karena laki-laki itu tidak gemulai. Nah, inilah salah satu bentuk ketidakpahaman banyak orang terhadap gay.

Beberapa tahun lalu sebuah koran di Jawa Barat memberikan bahwa LSM dan MUI Tasikmalaya akan ‘mengobati’ 500 gay agar kembali ke jalan yang benar. Ini tidak masuk akal karena nyaris tak ada gay yang mau mengakui orientasi seksualnya secara terbuka. Ternyata yang mereka sebut gay itu adalah waria (transgender).

Gay dalam penampilannya adalah laki-laki tulen. Hanya orientasi seksualnya yang tertarik ke laki-laki. Dalam berbagai kasus keluarga sering memaksa laki-laki gay menikah yang pada akhirnya perkawinan itu akan kandas dan berantakan karena tidak ada dorongan seksual si suami (dalam hal ini laki-laki gay) terhadap istrinya (perempuan). Dikawinkan karena yang tampak adalah laki-laki sehingga secara umum tentulah menikah dengan perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun