“AIDS: Obat dan Vaksin Akan Membuat (Perilaku) sebagian Orang Seperti Binatang.” Ini judul tulisan di kompasiana.com/infokespro (30/11-2-11) yang ditanggapai secara beragam. Tanggapan berupa caci-maki, hujatan, dll. pun tertuju kepada saya sebagai penulis. Ini tentu saja perkiraan karena selama ini biar pun tidak ada vaksin dan obat, tapi orang tidak takut melakukan kegiatan-kegiatan yang berisiko tertular HIV. Sayang, tulisan ini tidak bisa lagi dibaca.
Selama ini di banyak negara, termasuk Indonesia, ada penolakan yang sangat kuat terhadap (sosialisasi) kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) di dalam dan di luar nikah. Padahal, berbagai penelitian dan studi menunjukkan kondom adalah satu-satunya alat untuk mencegah penularan HIV ketika terjadi hubungan seksual.
Seks Yes, Kondom No
Belakangan muncul pula informasi tentang sirkumsisi (sunat) pada laki-laki yang dikatakan bisa juga mencegah penularan HIV. Pendapat ini pertama kali muncul di Afrika ketika ada dilakukan penelitian terhadap mayat-mayat yang mati karena penyakit yang terkait HIV/AIDS. Hasilnya, lebih banyak laki-laki yang tidak disunat. Tapi, yang tidak muncul dari penelitian ini adalah perilaku seksual orang-orang yang mati tadi semasa hidupnya. Bisa saja karena aturan-aturan tertentu sehingga ada perbedaan perilaku seksual antara yang disunat dan tidak disunat.
Yang benar bukan mencegah penularan HIV, tapi menurunkan risiko tertular HIV ketika terjadi hubungan seksual karena bagian kepala penis mengeras pada penis yang disunat. Tapi, bagian batang penis tetap berisiko menjadi pintu masuk HIV jika terjadi perlukaan selama hubungan seksual karena bersentuhan dengan dinding vagina dan cairan vagina.
Di Papua, misalnya, ada pendeta yang menolak kondom dengan jargon “Seks Yes, Kondom No”. Maka, pemerintah di sana pun menjadikan sunat sebagai prioritas utama dalam penanggulangan HIV/AIDS. Tentu saja ini berdampak buruk karena laki-laki yang disunat merasa aman melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV karena menganggap sunat sebagai ‘kondom alam’.
Pakar-pakar kesehatan, terutama yang terkait dengan HIV/AIDS, terus-menerus memutar otak untuk mencari vaksin HIV (yaitu virus yang menurunkan sistem kekebalan tubuh yang akan berakhir pada kondisi AIDS jika tidak ditangani secara medis). Ada yang sudah mulai uji coba.
Yang tidak masuk akal adalah kondom ditolak tapi sunat dipakai sebagai alat mencegah penularan HIV dan vaksin HIV ditunggu-tunggu. Maka, bisa jadi kelak akan terjadi dialog ini:
Seseorang: “Dok, suntikin vaksin HIV, dong, gue mau ngeseks, nih!”