Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jangan Lagi Tipu Wisatawan dengan Harga Tak Pasti

14 Maret 2017   15:04 Diperbarui: 15 Maret 2017   06:00 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tampaknya, paradigma berpikir sebagian pelaku ekonom di sektor pariwisata nasional tetap saja ada yang memakai pola pikir ‘main pukul’ untuk mendapat untung besar. Besaran tarif dan harga ditentukan secara beragam tanpa kepastian sehingga merugikan wisatawan dalam dan luar negeri.

Pemerintah menargetkan 15 juta wisatawan mancanegara dan 265 juta pergerakan wisatawan nusantara yang akan menyumbang devisa 13 persen ke PDB nasional dengan devisa Rp 200 triliun (KOMPAS, 14/3-2017). Target ini tentulah tidak mudah dicapai karena banyak faktor terkait pariwisata yang tidak didukung oleh daerah dan hanya menunggu ‘belas kasih’ Pusat.

Maka, judul berita di Harian “KOMPAS” (14/3-2017) ini “Daya Tarik Destinasi Berperan Penting, Persepsi Pengaruhi Pariwisata” jadi penting karena ketidakpastian tarif dan harga bisa jadi bumerang bagi daerah tujuan wisata (DTW) karena pengunjung merasa jadi objek (penipuan). Bisa jadi ketidakpastian tarif dan harga bagaikan jerat bagi wisatawan.

Lihat saja keluhan pelancong di salah tempat wisata di wilayah Provinsi Banten yang ‘kena pukul’ sehingga harus bayar makanan laut (sea food) dan minuman Rp 1 juta. Ini terjadi karena tidak ada harga di daftar menu minuman dan makanan. Pengalaman penulis makan soto ayam bening di salah satu rest area jalan tol Merak-Jakarta juga sangat jelek. Daftar menu disodorkan. Tidak ada harga. Penulis berpikir hanya soto ayam tentulah harga tidak lebih dari Rp15.000/porsi. Eh, ketika bayar diminta Rp 98.000 untuk dua porsi soto, satu gelas teh manis dan satu gelas teh tawar.  

Kalau dulu warung Padang bisa jadi patokan karena harga yang standar, celakanya warung Padang pun sudah ada yang mulai tidak memakai tarif ‘ampera’ dengan harga belasan ribu rupiah. Sudah ada warung Padang yang mematok harga puluhan ribu rupiah untuk nasi dan lauk-pauk.

Sering pula terjadi di DTW harga-harga minuman dan makanan tidak masuk akal. Kelapa muda Rp 25ribu atau minuman ringan yang harga bandrolnya di bawah Rp 10.000 dijual seharga Rp 20.000-an. Maka, amatlah beralasan kalau kemudian DTW paling favorit di Indonesia adalah Bali karena harga di kaki lima, di pantai dan di restoran tidak bebeda jauh dan selalu ada tarif resmi.

Ada kesan pemerintah daerah, pedagang dan pengelola tempat wisata menganggap orang-orang yang datang adalah orang-orang yang berduit. Asumsi salah besar karena banyak pengunjung yang datang dengan rombongan naik bus ramai-ramai. Uang di kantong pun tidak cukup beli oleh-oleh.

Ketika ada kegiatan kongres di Yogyakarta empat tahun yang lalu penulis jadi koordinator untuk menyeleksi wartawan dari seluruh Indonesia sebagai peserta. Malam pertama menginap di hotel berbintang di Jalan Malioboro sudah ada wartawan yang mengeluh karena harus membayar makanan ala kadarnya puluhan ribu rupiah.

Kok bisa? “Iyalah, Bang,” kata salah seorang wartawan, “Pertama nasi putih, kemudian sayur, dst. sehingga harganya dijumlahkan.” Padahal, itu makanan kaki lima di depan hotel. Penulis sudah mengingatkan mereka agar makan di tempat yang ada daftar harga di menu. Rupanya mereka tertarik makan lesehan dan hasilnya keluh-kesah.

Hal yang sama juga tentang ongkos atau tarif angkutan kota. Pengalaman penulis di Kota Mataram, Lombok, NTB, sopir tidak akan mengembalikan uang pecahan Rp 10.000 biar pun ongkos resmi hanya Rp 4.000 karena mereka lihat sebagai pendatang. Ini jelas merusak citra karena akan jadi informasi yang menyebar dari mulut ke mulut (waktu itu). Kalau sekarang hal seperti itu akan cepat menyebar melalui Internet dengan memamakai media sosial, seperti Facebook, Twitter, dll.

Tapi, yang bisa kena ‘tipu’ hanya pelancong nusantara karena wisatawan manca negara mempunyai ‘kitab suci’ (baca: buku panduan) berupa daftar tarif dan harga sehingga mereka tidak bsia dibodoh-bodohi. Kalau tidak sesuai dengan yang tertera di buku panduan mereka akan mencari tempat lain.

Seperti disebutkan “KOMPAS” bahwa kemajuan pariwisata sangat ditentukan oleh daya tarik, akses, dan fasilitas pendukung. Dari ketiga faktor itu, daya tarik destinasi memegang peranan penting. Untuk itu, pemerintah hendaknya memprioritaskan daya tarik untuk mendorong pariwisata yang berkelanjutan.

Kondisi itulah kemudian yang memperlambat kemajuan pariwisata nasional yang dalam bahasa “KOMPAS” (13/3-2017) disebut ‘Pariwiata Terancam Stagnan’. “KOMPAS” memakai tolok ukur konektivitas. Ini salah satu faktor secara fisik. Tapi, ada lagi faktor nonfisik yaitu daya tarik DTW yakni kepastian tarif dan harga.

Nah, daftar tarif dan harga merupakan daya tarik. Tapi, ketika tidak ada daftar tarif dan harga DTW itu pun tidak lagi mempunyai daya tarik apalagi sudah ada yang kena ‘tipu’. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun