Nah, bagaimana nasib penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia?
Ya, tergantung nasiblah karena tidak ada yang benar-benar menyasar aspek yang ril tentang pencegahan HIV/AIDS.
Paling tidak ada 17 ‘pintu masuk’ HIV/AIDS ke sebuah komunitas atau masyarakat, tapi yang paling potensil ada tiga, yaitu:
(1) Melalui laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan perempuan yang berganti-ganti;
(2) Melalui perempuan dewasa yang tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan laki-laki yang berganti-ganti;
(3) Melalui laki-laki dewasa yang tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Yang bisa dijangkau oleh pemerintah melalui program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK, tapi itu pun hanya PSK langsung yang dilokalisir.
Celakanya, praktek PSK dan transaski seks tidak dilokalisir karena sejak reformasi ada gerakan yang massif untuk menutup lokalisasi dan resosialisasi PSK. Bahkan, Mensos Kofifah Indar Parawansa menggebu-gebu menutup tempat pelacuran tanpa memikirkan dampa buruk terhadap kesehatan masyarakat karena praktek PSK tidak bisa dijangkau lagi untuk sosialisasi kondom.
Ada dua tipe PSK, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan, dan
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.