Kebencian akan lebih tinggi jika dikaitkan dengan agama karena banyak orang yang sempit pemahamannya sehingga menganggap dirinyalah yang benar sehingga yang lain tidak benar. Dengan kondisi ini tag pun menjurus ke SARA sehingga judul hoax dan isinya pun hanya caci-maki dengan sebutan nama-nama penghuni bonbin (kebon binatang). Padahal, kritik tida harus dengan caci-maki [Disebut-sebut Kritis dan Ekspresif: Kok, Ada yang Hanya (Bisa) Menyerang Pribadi, Fitnah dan Caci-maki?].
Memang, ada juga yang dengan sengaja memanipulasi fakta, seperti berita dan pidato, untuk tujuan kerusuhan dan memupuk kebendian. Seperti pidado Ahok yang habis-habisan dimanipulasi sehingga menimbulkan reaksi negatif dari sebagian orang yang celakanya justru menolak membandingkannya dengan pidato asli ("Hoax" Terus Menebar Kebencian, Inikah Kebebasan Berekspresi yang Didengungkan Penentang UU ITE?).
Pemilik Media
Mantan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, rupanya mengabaikan kekuasaan redaksi yang dipegang oleh pemilik atau parpol afiliasi dengan mengatakan: ”Profesi wartawan menuntut individual responsibility (pertanggungjawaban individu). Selain butuh keterampilan dan pengetahuan, jurnalis juga wajib menjunjung etika jurnalistik. Aturan yang ada bukan untuk mengendalikan, melainkan untuk melindungi wartawan. Esensi dari profesi ini adalah mengatur dirinya sendiri atas dasar tanggung jawab.” (Harian “KOMPAS”, 8/2-2017).
Sehebat apa pun pengetahuan seorang wartawan, bahkan bergelar doktor sekalipun, akan tetap tunduk pada kekuatan yang memegang redaksional. Di era Orde Baru seorang pemimpin redaksi harus berstatus sebagi anggota biasa PWI. Ini artinya ybs. minimal jadi wartawan 10 tahun dan 3 kali ikut ujian. Sekarang orang-orang yang sama sekali tidak paham jurnalistik, bahkan bikin berita lansung atau straight news saja tidak bisa dan tidak pernah tapia karena punya uang langsung jadi pemimpin redaksi.
Kondisinya kian runyam karena, seperti disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara: ”Informasi dari media sosial yang belum jelas kadang begitu saja dirujuk dan dikutip media massa arus utama dalam pemberitaan mereka. Berita itu kemudian bergulir menjadi viral dan menjadi lingkaran setan.” (Harian “KOMPAS”, 8/2-2017).
Ini ‘kan jadi yang mboten-boten karena media massa arus utama itu akan berkelit bahwa mereka mengutip sumber sehingga lolos dari jerat hukum. Soalnya, yang diwajibkan dalam mengutip adalah menyebutkan sumber. Tidak ada aturan atau ketentuan kriteria sumber yang boleh dan tidak boleh dikutip.
Kita berharap kalangan psikologi bisa menemukan alasan yang masuk akal mengapa ada orang yang lebih memilih hoax daripada berita di ranah realitas sosial. Salah satu langkah mereduksi peredaran hoax adalah memberikan hukuman bagi yang mengunggah pertama, yang mereproduksi, dan yang menyebarluaskan.
Ketika ada upaya hukum untuk menangglangi hoax yang menyasar pribadi dengan kebencian dan fitnah celakanya banyak kalangan yang menentang dengan alasan akan memebelenggu kebebasan berekspresi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H