Judul berita di Harian “KOMPAS” edisi 8 Februari 2017 ini “ANTI HOAX.Media Arus Utama Harus Jadi Rujukan” justru bertolak belakang dengan realitas sosial karena orang-orang yang mencari berita dengan kata kunci kebencian sebagai komunitas the haters justru menghindarkan dan mengabaikan berita yang akurat dan faktual di media arus utama (media mainstream).
Celakanya, media mainstream juga ada yang justru menulis dan menaangkan berita ‘miring’ yang tidak akurat karena terkait dengan dukungan politik, pemilik modal, dll. Seperti quick count Pilpres yl., misalnya, ada stasiun televisi swasta nasional yang sampai pengumman final KPU tetap menayangkan hasil quick count kemenangan pasangan “Y” dengan jumlah suara masuk 40 persen.
Empati
Ketika “Obor Rakyat” memuat tulisan, ini bukan berita dalam konteks dan kaidah jurnalistik karena tidak ada konfirmasi dengan subjek atau objek berita, yang memfitnah salah satu capres, pemerintah sebagai pelindung warga negara sama sekali tidak memberikan reaksi yang positif. Nah, sekarang pemimpin di masa itu, SBY sebagai presiden ke-6, sekarang mengeluh dan curhat bahwa dia jadi sasaran fitnah di media sosial (kompas.com, 7/2-2017).
Apakah Pak SBY memakai empati (compassion) ketika mengatakan dirinya jadi korban fitnah di media sosial jika dibandingkan dengan fitnah “Obor Rakyat” terhadap Jokowi?
Jika ditilik dari curhatan SBY hal itu menunjukkan secara faktual bahwa dia tidak pernah memikirkan penderitaan orang lain, seperti yang dialami oleh Jokowi. Kalau saja SBY berbicara pada ranah realitas sosial terkait dengan bully di media sosial tentulah tidak ada alasan bagi SBY untuk curhat karena fitnah ke Jokowi jauh lebih massif dan kejam daripada bully terhadap SBY.
Media massa, cetak dan elektronik, serta media online dan portal berita juga terperangkap pada kepemilikan sehingga berita yang mereka tulis pun tidak seperti yang diharapkan Bang Hadi (Ashadi Siregar di LP3Y Yogyakarta): ”Media massa harus memperjelas fungsinya sebagai penyaji fakta empiris dan kebenaran.” (Harian “KOMPAS”, 8/2-2017).
Kalau media mempertahakan pakem sebagi penyaji fakta empiris, maka pemilik media dan afiliasi media tsb. pun akan murka karena menyasar diri mereka. Bayangkan, lumpur Sidoarjo dengan berita sekala jagat raya justru ada stasiun televisi swasta nasional yang tidak menjadikan kasus itu sebagai berita. Itu artinya media tsb. mengabaikan realitas sosial.
Fakta berbeda dengan realitas sosial. Contoh ekstrim ketika Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO (Badan PBB untuk Pangan) sebagai negara swasembada pangan (ini fakta karena ada angka-angka statistik), pada saat yang sama di beberapa daerah terjadi kelaparan yang diperhalus (eufemisme) dengan sebutan kuang gizi atau gizi buruk (realitas sosial).
Celakanya, media dan situs menjadikan hoax sebagai salah satu instrumen menaikkan peringkat atau keterkenalan yang pada akhirnya menarik pengiklan karena banyak pembaca dan klik di media serta situs yang menyajikan hoax.
Hoax sendiri adalah kabar bohong yang dimanipulasi seperti berita (news). Nah, the haters pun akan mencari ‘berita’ dengan kata kunci kebencian yang ada di hatinya. Maka, muncullah ribuan alamat situs dengan kata kunci (tag) kata kebencian tadi. Ketika mereka klik judul pun sudah cukup dan itu direproduksi sesuai dengan tingat kebencian dan disebarluaskan kembali.