Dalam dua kali debat (13/1 dan 27/1) pasangan calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 yang disiarkan stasiun televisi secara langsung (live) ternyata isu yang diperdebatkan hanya ada di ranah opini sehingga realitas sosial pun diabaikan. Â
Perdebatan berkutat pada program dan kebijakan tapi hanya sebatas mencari-cari kesalahan dan kelemahan petahana dengan ujaran-ujaran kesantunan dan penampilan agamis sebagai upaya ‘jaim’ [jaga image-merupakan suatu perilaku untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya dengan mengharapkan orang lain menganggap subjek sebagai seseorang yang memiliki kepribadian yang tenang, dan berwibawa (id.wikipedia.org)]. Soal penataan lingkungan, misalnya, yang dipersoalkan masih ada daerah kumuh. Nah, kalau paslon penantang lebih arif tentulah mengulas mengapa dan bagaimana hal itu terjadi bukan sebatas menunjukkan dan menyebutkan kekumuhan.
Maka, yang ditawarkan adalah langkah konkret menata lingkungan bukan dengan memberikan ‘angin sorga’ atau ‘PHP’ (pemberi harapan palsu) kepada warga yang menempatai jalur hijau, bantaran sungai dan tepi rel jalur kereta api (KA). Seperti janji akan menata rumah-rumah di bantaran kali dengan merapikan dan mengecatnya. Ini ‘kan jelas ngaco karena secara hukum dan ekosistem bantaran kali bukan untuk permukiman. Begitu juga dengan rumah dan bangunan di sepanjang rel KA tidak bisa dibenarkan karena menyangkut perjalanan KA dan keselamatan dan kesehatan warga. Internasional menetapkan jarak rel terluar ke fasilitas umum dan permukiman 100 meter. Tapi, di Indonesia bangunan menempel ke pagar pembatas.
Terkait dengan isu kemacetan ada fakta yang luput dari perhatian yaitu tidak ada satu pun kota besar di dunia ini yang tidak macet. Persoalannya adalah di banyak kota besar ada opsi atau pilihan moda transportasi yang bebas macet yaitu KA di bawah permukaan tanah (sub way dengan mass rapid transit/MRT) dan layang di atas permukaan tanah (Light Rail Transit/LRT). Nah, di Jakarta dan kota besar lain sama sekali tidak ada opsi. KRL, disebut PT KAI dengan commuter line, juga mendukung karena jalur KRL ini tidak melewati pusat-pusat kegiatan pemerintahan dan bisnis. Berbeda dengan di Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok dengan jaringan MRT yang mendukung pergerakan warga sehingga tidak perlu lagi ada ojek atau angkot.
Begitu juga dengan banjir. Ada dua tipe yaitu genangan karena hujan dan banjir kiriman melalui sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Persoalan bukan di Jakarta, tapi daerah penyangga yang dilewati sungai-sungai itu. Selain membawa air sungai itu jadi ‘tong sampah’ terpanjang di dunia karena warga di sepanjang aliran sungai-sungai itu membuang sampah ke sungai. Lalu, apakah banjir di Jakarta karena gubernur dan wakil gubernur tidak mampu mengatasi banjir?
Begitu juga dengan bebagai program yang dijalankan petahana, seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP). Persoalan terkait KJP ini keselahan bukan hanya pada gubernur karena program tsb. menjadi bagian dari instansi terkait di pemerintah provinsi. Tapi, yang jadi ‘sasaran tembak’ hanya petahana. Begitu juga dengan debat soal tata kelola pemerintahan hanya mencari-cari kelemahan petahana.
KPU (Komisi Pemilihan Umum) DKI Jakarta yang menjadi ‘otak’ debat itu ternyata tidak memutar otak dalam mencari isu-isu yang aktual berupa realitas sosial yang ada di social settings. Dua kali debat hanya bersifat ‘top-down’ sehingga tidak menyentuh akar persoalan. Sama sekali tidak ada muncul realitas sosial, misalnya, terkait dengan banjir dan kemacetan. Yang diperlukan dalam debat itu adalah bottom-up agar persoalan yang ada di ranah publik menjadi bagian dari program ril bukan cuma ‘omdo’ (omong doang atau semacam NATO/No Action Talk Only).
Jika di debat ketiga (10/2) isu yang diperdebatkan tetap top-down itu artinya perdebatan hanya ‘menggantang asap’ karena mengabaikan realitas sosial. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H