Selain Suku Dani yang sudah terkenal berkat Wyn Sargent, keahlian Suku Asmat yang bermukim di pantai bagian selatan Papua dalam bisan seni merupakan kekayaan budaya Papua. Pematung Suku Asmat tidak pernah belajar formal. Mereka mematung sambil ‘bernyanyi’ yang merupakan komunikasi dengan leluhur untuk menggerakkan akal dan pikiran serta tangan pematung sehingga menghasilkan karya seni yang bernilai tinggi. Pematung Suku Asmat sudah menunjukkan kebolehan mereka ke bebarapa negara selain di Jakarta.
Kalau di banyak bandara yang dilarang adalah merokok, di Papua peringatan justru melarang meludah karena warna ludah merah dan tidak bisa dibersihkan. Ini terjadi karena laki-laki dan perempuan Papua selalu memakan pinang, sebagaimana layaknya laki-laki yang merokok atau perempuan yang memakan daun sirih di tempat lain.
Diperkirakan di Papua ada 319 suku. Mereka ini masuk dalam ras Melanesia atau Negroid yang ditandai dengan kulit hitam gelap dan rambut kriting. Setiap suku mempunyai ciri khas dalam kehidupan, seperti bentuk rumah, tarian, nyanyian, dll. Tifa merupakan alat musik khas Maluku dan Papua yang berbentuk kendang. Selain makan papeda yang terbuat dari bubur sagu, makanan lain adalah umbi-umbian dengan sumber protein ikan dan daging.
Beberapa tarian khas Papua, seperti tari “Perang”, menjadi pertunjukan seni yang memikat bagi wisatawan. Selain tari “Perang” ada pula tari “Musyoh” yang sakral yang dipertunjukkan jika ada sanak keluarga yang tertimpa musibah. Ada pula tarian “Selamat Datang” untuk menyambut tamu. Sebagai tari bergembira ada tarian “Sajojo” dan tarian “Yospan”.
Karena tari-tarian itu tidak selalu ada, maka pemerintah di Papua perlu merancang gedung pertunjukan agar tari-tarian itu bisa dipertunjukkan secara berjadwal kepada wisatawan. Seperti di Bali sepanjang hari wisatawan bisa melihat tari “Kecak” di gedung pertunjukan tanpa harus menunggu malam hari.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah souvenir yang khas Papua, mulai darei T-Shirt, miniatur rumah adat atau etnis, koteka, dan pernik-pernik lain yang menjadi bagian dari kehidupan warga Papua. Perlu juga diperhatikan ukuran souvenir agar mudah dibawa, apalagi wisatawan mancanegara yang menggunakan kapal terbang tentulah ukuran jadi penting karena menyangkut berat bagasi.
Yang tidak kalah penting adalah mendidik masyarakat tentang cara menghadapi wisatawan nusantara dan mancanegara. Ini perlu karena sekarang sering terjadi pengunjung ‘ditodong’ ketika mengambil gambar agar mereka dibayar. Ini berdampak buruk terhadap pariwisata. Untuk mendapatkan uang dari wisatawan caranya bukan dengan todong-menodong, tapi melalui cara-cara yang etis, seperti jadi guide, dll.
Diperlukan waktu yang lama untuk mendidik masyarakat agar melek pariwisata. Jika cara-cara yang dilakukan untuk mendapatkan uang dari wisatawan tidak etis, maka itu ibarat ayam berterlur emas. Karena ingin cepat dapat emas ayam dipotong. Hasilnya? Tentu saja tidak ada karena tidak ada telur (emas) di dalam perut ayam.
Wisatawan mancanegara sangat efisien mengggunakan uang. Mereka mempunyai daftar lengkap taris losmen, homestay, hotel, ongkos angkutan sampai harga minuman dan makanan. Nah, kalau toko dan restoran tidak mencantumkan label harga itu sama saja artinya dengan ‘mengusir’ wisatawan karena mereka merasa ditipu. Informasi itu akan tersebar luas dari mulut ke mulut dan melalui media sosial.