Kalau saja Gus Dur, ketika itu menjabat sebagai Rresiden RI ke-4, tidak menikmati kemunculan sinar Matahari pertama pada tahun baru di tahun 2000 di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, mungkin kekayaan budaya “Bumi Cenderawasih”itu akan terus terpendam seiring dengan nama yang diberikan kepada daerah itu yaitu Irian Barat yang kemudian diganti jadi Irian Jaya.
Soalnya, Irian tidak bermakna bagi penduduk asli daerah itu karena kata itu sama sekali tidak menunjukkan realitas masyarakat. Irian adalah nama pemberian untuk satu daerah, sedangkan Papua terkait dengan etnis secara antropologis.
Bahkan, menurut Gus Dur, yang juga jadi alasan Gus Dur mengganti Irian jadi Papua adalah Irian menggambarkan situasi warga secara harfiah yaitu telanjang. Padahal, ketelanjangan warga Papua sema sekali tidak ada kaitannya dengan ketiadaan kain karena cara ‘berpakaian’ mereka, al. dengan memakai koteka, khususnya warga di pedalaman dan pegunungan, merupakan bagian dari kehidupan alamiah.
Obahorok dan Wyn Sargent
Jika mengacu ke tourism yaitu pariwisata, maka yang dicari tidak sekedar tempat yang indah, makanan yang enak, hotel yang mewah, dll., tapi lebih tertuju pada kehidupan alamiah di daerah tujuan wisata (DTW). Berbeda dengan darmawisata, piknik, jalan-jalan, dll. yang sama sekali tidak mempertimbangkan ciri khas keseharian masyarakat di DTW.
Hal itu pulalah yang menjadi kunci keberhasilan pariwisata di Yogyakarta dan Bali. Berbeda dengan DTW lain yang sama sekali tidak menunjukkan identitas masyarakat sesuai dengan budaya setempat. Di Aceh, Tapanuli, Minang, Bugis, dll. tidak bisa dikenali warga asli daerah tsb. dalam keseharian. Berbeda dengan Yogyakarta dan Bali. Setiap saat kita bisa berjumpa dengan ‘orang Jogja’ dan ‘orang Bali’ melalui tutur sapa dan pakaian khas.
Dalam kaitan itulah Tanah Papua, khususnya Provinsi Papua, mempunyai posisi tawar yang sangat besar terhadap pariwisata. Tidak percuma langkah kecil Gus Dur mengganti Irian jadi Papua yang ternyata merupakan lompatan besar dalam menguak kekayaan alam dan budaya Papua. Kata Papua mengacu ke kehidupan masyarakat yang sudah dikenal dunia luas terutama dari aspek antropologi.
Maka, tidaklah mengerahkan kalau kemudian seorang antropolog perempuan asal Amerika Serikat, Wyn Sargent,menjadikan dirinya sebagai istri seorang kepala Suku Dani, Obahorok, agar materi disertasinya tentang kehidupan seksual masyarakat Suku Dani benar-benar merupakan realitas (1973). Obahorok sendiri ‘beristri’ 40 tinggal di Lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Perempuan ini melakukan langkah partisipatif dalam menggali kehidupan seksual Suku Dani. Sayangnya, cara Wyn Sargent untuk mendapatkan bahan disertasi dengan metode konvensional hanya menguntungkan dia dengan hasil sidang cum laude, sementara masyarakat Suku Dani sama sekali tidak memperoleh sesuatu yang berguna bagi kehidupan (seksual) mereka. Wyn Sargent pun menulis pengalamanya dalam buku berjudul 'People of the Valley'.
Kehidupan masyarakat Papua, khususnya di pedalaman dan pegunungan, menjadi daya tarik istimewa bagi wisatawan mancanegara yang mengemas perjalanan sebagai pariwisata yang tidak sekedar melancong. Nama Papua sudah akrab di kalangan wisatawan dan ilmuwan dan langkah Gus Dur yang mengganti nama Irian jadi Papua juga merupakan publikasi akan kekayaan budaya Papua.