Pandangan Prof Ascobat itu dapat dilihat dari kasus-kasus diabetes yang ditangani pada tahap lanjut karena ketidaktahuan dan keterbatasan fasilitas kesehatan. Selain tidak mengetahui menderita diabetes, jumlah tersebut juga diperparah dengan berpotensi untuk mengakses layanan kesehatan dalam kondisi terlambat atau sudah komplikasi.
"Sebagian besar penderita diabetes mengunjungi dokter dalam keadaan kronis. Akibatnya, penderita diabetes tidak terdiagnosis dan tidak diobati hingga mengakibatkan komplikasi berat seperti retinopati, penyakit ginjal, stroke, serangan jantung dan kematian dini," papar Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dr. H. M. Subuh, MPPM (kompas.com, 18/4-2016).
Gejala Klasik
Peranan doker di puskesmas sebagai ujung tombak sosialasi penyakit, dalam hal ini diabetes, jadi penting karena WHO memperkirakan jumlah penderita DM tipe 2 di Indonesia akan meningkat secara signifikan hingga 21,3 juta orang pada tahun 2030 mendatang. “Lebih dari 60 persen pengidap diabetes tidak sadar kalau terkena diabetes. Kebanyakan datang ke dokter sudah dalam kondisi komplikasi,” ungkap Ahli Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran (FK) UGM, dr. R. Bowo Pramono, Sp.PD.KEMD(K) (www.ugm.ac.id, 6/4-2016).
Dengan kondisi 60 persen pengidap diabetes tidak menyadarinya, maka perlu ditingkatkan upaya sosialisasi penyakit diabetes agar orang-orang dengan gejala-gejala tertentu bisa ditangani sedini mungkin. Bowo menyebutkan ada gejala klasik diabetes yang dikenal dengan istilah 3 P, yaitu poliuri atau sering buang air kecil, polifagi atau sering merasa lapar, dan polidipsi atau sering merasa haus. Diabetes juga sering ditandai dengan penurunan berat badan tanpa disertai dengan sebab yang jelas.
Ada kesan yang salah terhadap gaya hidup enggan bergerak atau tidak aktif secara fisik yaitu sering dikaitkan dengan warga kota. Padahal, seperti dikatakan oleh Direktur Institut Diabetes Indonesia (INDINA), Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPd-KEMD, FACE, di era modern ini juga membuat orang yang tinggal di desa rentan kena diabetes. "Dulu, mereka mau ke sawah jalan kaki, sekarang naik sepeda motor. Makan tetap banyak, tetapi aktivitas fisik semakin berkurang," kata Sidarta dalam diskusi di Jakarta (29/4/2016).
Menurut Sidarta, orang yang tinggal di perkotaan justru mulai sadar dengan gaya hidup sehat. Apalagi, di kota tersedia sarana olahraga seperti gym dan mulai banyak pilihan makanan sehat. Di pedesaan, sarana olahraga itu tidak ada (kompas.com, 29/4-2016).
Selain kurang gerak survei Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) di salah satu daerah di Jawa Timur menunjukkan warga minum kopi yang kental sehingga diperlukan gula yang banyak. "Di sana mereka ngopi, pakai gulanya banyak banget. Mereka bisa minum kopi 10 cangkir per hari," kata Direktur Program CISDI Anindita Sitepu (kompas.com, 29/4-2016).
Karena gaya hidup dan pola makan itu pulalah agaknya yang menjadi faktor pemicu kasus diabetes di Indonesia sehingga prevalensinya terus naik. Prevalensi orang dengan diabetes di Indonesia menunjukan kecenderungan meningkat, yaitu dari 5,7 persen tahun 2007 naik jadi 6,9 persen di tahun 2013. Dikutip dari data yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, 2/3 diabetesi (sebutan untuk penderita diabates) di Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki diabetes (kompas.com, 18/4-2016).
Salah satu pola hidup yang perlu direformasi terkait dengan upaya penanggulangan penyakit diabetes adalah keengganan untuk bergerak, seperti berjalan kaki, jogging, renang, naik sepeda, dll. Pola ada gaya hidup yang tidak aktif disebutkan oleh peneliti, setiap tahun menyebabkan 5 juta kamatian dengan kerugian mencapai 67,5 miliar dolar AS (VOA Indonesia, 29/7-2016). Lebih lanjut peneliti mengatakah bahwa gaya hidup tidak aktif dikaitkan dengan peningkatan risiko sakit jantung, diabetes dan kanker.
Ulf Ekelund, profesor di Norwegian School of Sports Sciences dan Cambridge University, mengatakan bahwa rekomendasi WHO untuk berolahraga moderat setidaknya 1,5 jam per minggu barangkali tidak cukup. Seperempat orang dewasa di dunia bahkan tidak memenuhi rekomendasi WHO tersebut. "Tidak perlu berolahraga atau ke gym... tapi setidaknya perlu (bergerak) satu jam per hari," ujarnya sambil menyebut contoh berjalan kaki pada kecepatan 5,6 kilometer per jam atau bersepeda 16 kilometer per jam (VOA Indonesia, 29/7-2016).