“Berdasarkan rumusan medis terhadap penyebaran HIV/AIDS, satu penderita akan menyebarkan virus kepada 100 orang.” Ini ada dalam berita “53 Warga Payakumbuh Positif HIV/AIDS” (harianhaluan.com, 9/9-2016).
Bagaimana seorang bayi yang mengidap HIV/AIDS menularkan virus yang ada di badannya ke 100 orang lain. Seorang ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS karena tertular dari suaminya, bagaimana pula dia bisa menulari 100?
Kalau benar 1 pengidap HIV/AIDS otomatis menularkan HIV/AIDS ke 100 orang lain, maka penduduk dunia yang mengidap HIV/AIDS adalah 3,3 miliar atau separuh dari penduduk dunia. Di Indonesia terdeteksi 276.511. Kalau memakai rumus itu, maka penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS berumlah 27,7 juta. Fantastis.
“Rumus” tsb. tidak bisa dipakai secara langsung atau ‘telanjang’ karena itu bukan untuk menghitung jumlah kasus HIV/AIDS. “Rumus” itu dipakai al. untuk merancang program penanggulangan, penyediaan obat, dll., dengan persyaratan tertentu, seperti tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, gizi buruk, sanitasi rendah, dll.
Kalau Dinkes Kota Payakumbuh tetap memakai rumus itu, maka itu membuktikan di Kota Payakumpuh tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, gizi buruk, sanitasi rendah, dll.
Dengan 53 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Payakumbuh menempatkan kota ini pada peringkat ke-5 dari 19 kabupaten dan kota di Sumbar. Yang jadi masalah besar di Kota Payakumbuh adalah kasus yang tedeteksi (53) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi (53) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Maka, yang diperlukan adalah penanggulangan HIV/AIDS melalui sistem yang bisa mendeteksi kasus yang di masyarakat tanpa melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
Disebutkan oleh Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Menular, Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, dr Nela Fatma: “Bayi terlahir dari orang tua penderita HIV/AIDS. Otomatis virus menyebar ke anak. Ini yang terjadi di Kota Payakumbuh.”
Tidak dijelaskan HIV/AIDS menular ke bayi yang lahir melalui siapa karena orang tua ada dua yaitu suami (ayah) dan istri (ibu). Yang jelas ayah menularkan HIV ke ibu secara horizontal. Ketika ibu hamil ada risiko penularan HIV secara vertikal ketika dalam kandungan, saat persalinan atau ketika menyusui air susu ibu (ASI).
Bertolak dari data ‘Bayi terlahir dari orang tua penderita HIV/AIDS’ itu artinya ada suami di Kota Payakumbuh yang melakukan perilaku berisiko, yaitu:
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah di Kota Payakumbuh atau di luar Kota Payakumbuh dan di luar negeri dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Payakumbuh atau di luar Kota Payakumbuh dan di luar negeri dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan di Kota Payakumbuh atau di luar Kota Payakumbuh dan di luar negeri, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Disebutkan lagi: Kepada pelajar, dr Nela Fatma menjelaskan, HIV/AIDS merupakan virus mematikan di dunia. Sampai saat ini belum ada obat untuk menghilangkan virus dari penderita HIV/AIDS.
Sampai hari ini belum ada kasus kematian karena HIV atau AIDS atau HIV/AIDS. Kematian pengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.
Semua virus yang masuk ke tubuh manusia tidak bisa dikeluarkan. Obat yang ada sekarang hanya bisa ‘membuat virus pingsan’. Begitu juga dengan HIV/AIDS, obat antiretroviral (ARV) merupakan obat untuk menurunkan kecepatan HIV berkembang biak di dalam darah pengidap HIV/AIDS.
Karena itu, dr Nela Fatma meminta kepada pelajar, generasi muda untuk menghindari hal-hal yang bisa memacu penyebaran virus HIV/AIDS. Seperti tidak melakukan hubungan seks sembarangan dengan gonta ganti pasangan, jarum suntik yang bergantian dan tidak untuk konsumsi narkoba.
Hubungan seksual “sembarangan dengan gonta ganti pasangan” bisa berisiko jika dilakukan dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Memakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) berisiko terjadi penularan HIV jika narkoba disuntikkan dengan kondisi jarum suntik dipakai secara bersama-sama dengan bergantian. Karena bisa saja ada di antara yang menyuntikkan narkoba mengidap HIV/AIDS sehingga ada kemungkinan darah yang menadung HIV/AIDS masuk ke dalam jarum suntik.
Satu hal yang luput dari perhatian adalah kasus HIV/AIDS pada remaja sudah ada di terminal terakhir karena mereka tidak mempunyai pasangan tetap. Sebaliknya, laki-laki dewasa, terutama suami, jika tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Mungkin dr Nela Fatma akan menepuk dada dengan mengatakan “Di Kota Payakumbuh tidalk ada pelacuran.”
Itu memang benar. Tapi, yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran (de jure), sedangkan praktek perzinaan, al. dalam bentuk pelacuran, terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu (de facto).
Selain itu bisa juga ada laki-laki dewasa penduduk Kota Payakumbuh yang melakukan perilaku berisiko di luar Kota Payakumbuh atau di luar negeri. Jika mereka tertular, maka mereka akan menularkan HIV di Kota Payakumbuh tanpa mereka sadari. Kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi akan jadi ‘bon waktu’ yang kelak jadi ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H