Hari-hari belakangan ini Indonesia tidak hanya diramaikan dengan peningkatan ‘kesadaran’ orang-orang kaya untuk melaporkan harta kekayaannya melalui ‘tax amnesty’ (pengampunan pajak), tapi juga berita tentang Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur, yang dikabarkan bisa menggandakan uang. Tapi, pengurus padepokan itu, Marwah Daud, yang juga anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) serta sebagai Ketua Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng, menegaskan jika guru besar mereka Taat Pribadi tidak pernah menggandakan uang melainkan mengadakan uang untuk kemaslahatan umat (detiknews, 1/10-2016).
Kata ‘mengadakan’ dalam pernyataan Marwah Daud menimbulkan beragam penafsiran. Bisa jadi padepokan itu mencetak uang atau ‘mendatangkan’ uang melalui cara-cara yang lain.
Ketika hedonisme (KBBI: pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup) menjelma sebagai bagian dari kehidupan, maka berbagai cara pun akan dilakukan untuk memenuhi hasrat menuhankan materi. Kondisinya kian buruk jika kemudian gaya hidup masuk ke ranah snobisme (KBBI: orang yang senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yang dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu) sehingga tujuan mendapatkan uang pun jadi nomor satu.
Jika hanya mengandalkan pekerjaan rutin, seperti pegawai atau karyawan, untuk mendapatkan uang tentulah yang diperoleh terbatas, kecuali bagi yang menduduki jabatan tinggi sehingga upah atau gaji yang diperoleh besar serta berbagai macam tunjangan yang mempertebal kocek.
Bagi sebagian pegawai, dalam hal ini pegawai negeri dan pejabat publik, upaya mendapatkan uang lebih dilakukan dengan memakai jalur jalan pintas yaitu menerima suap atau korupsi (penyelewengan uang perusahaan atau uang negara untuk kepentingan pribadi). Maka, tidaklah mengherankan kalau sudah banyak pegawai dan pejabat publik yang menjadi penghuni penjara (baca: lembaga pemasyarakatan/lapas) karena terlibat kasus suap atau korupsi.
Tapi, tidak sedikit orang yang menempuh ‘jalan pintas’ mencari kekayaan, dalam hal ini bukan kriminal, yaitu melalui alam gaib yaitu memelihara ‘pesugihan’ dengan berbagai tingkatan dan pemberian tumbal atau wadal.
Yang banyak dikenal adalah memelihara tuyul (KBBI: makhluk halus yang konon berupa bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh orang yang memeliharanya untuk mencuri uang dsb.). Ini ‘kelas’ paling rendah dalam peringkat pesugihan. Tumbalnya pun memerikan air susu ibu (ASI). Bagi yang berisrri bisa menyilakan tuyul menetek ke istrinya atau perempuan lain. Belakangan, dikabarkan tuyul pun sudah ada yang gemar darah segar. Ini yang belum bisa dibuktikan apakah yang memelihara tuyul membeli darah di tempat-tempat yang menyediakan darah untuk transfusi.
Setingkat di atas tuyul adalah babi ngepet yaitu yang memelihara pesugihan ini wujudnya sebagai manusia berubah jadi siluman babi. Siluman ini mencuri uang. Jika ditemukan sebaiknya kaki bagi ngepet dipatahkan atau dipotong sehingga bisa diketahui siapa yang memelihara babi ngepet karena akan keiihatan. Di salah satu desa di Pandeglang, Banten, warga yang menangkap babi ngepet menyayat pantat bagi. Eh, beberapa hari kemudian ada warga yang pindah karena pantanya ‘hilang’.
Kemudian ada nyupang yaitu pesugihan dengan memelihara siluman monyet. Ini juga cara kerjanya mencuri uang di tempat-tempat yang dituju oleh yang memelihara. Penulis pernah melihat seseorang yang tidur pulas dalam wujud monyet (Astaga, Koq Ada Monyet di Tempat Tidur…).
Nah, yang jadi ‘primadona’ dalam dunia pesugihan adalah piara buto ijo. “Sekali bawa uang bisa sekarung,” kata seseorang yang paham tentang pesugihan. Tapi, pesugihan ini memerlukan tumbal yang banyak. Saya dan putri saya dijadikan tumbal untuk pesugihan buto ijo. Sejak belasan tahun yang lalu saya jadi sasaran santet untuk melumpuhkan dan dikirimi ‘tanah pamuragan’ untuk menghancurkan usaha. Pemeliara buto ijo menjanjikan 17 tumbal berupa nyawa. Putri saya ditumbalkan nomor 9 dan saya nomor 10. Alhamdulillah, berkat bantuan Bu Haji dan Pak Ajie (keduanya di Banten) serta Pak Dadang dan Pak Enjum (keduanya di Tasikmalaya, Jabar) yang jadi tumbal berbalik arah ke lingkungan yang memelihara pesugihan.
Kematian tumbal melalui penyakit-penyakit berat yang diakibatkan oleh santet. Sudah ada 27 catatan saya di Kompasiana terkait dengan santet yang dialamatkan ke saya dan putri saya melalui tag ‘serial santet’.