Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bupati Aceh Utara Membiarkan Pengidap HIV/AIDS Mati

18 September 2016   11:10 Diperbarui: 18 September 2016   11:24 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: bioplushealth.com

Bupati Aceh Utara: Yang Terindikasi HIV/AIDS Biarkan Mati.” Ini judul berita di merdekabicara.com (16/9-2016). Ini benar-benar di luar akal sehat karena seorang bupati, Muhammad Thaib, memberikan pernyataan yang melawan harkat dan martabat manusia sebagi makhluk Tuhan di muka Bumi ini.

Sekarang HIV/AIDS bisa diobati yaitu dengan obat antiretroviral (ARV) yang menurunkan risiko kematian. Maka, pemberian obata ARV kepada pengidap HIV/AIDS setelah memenuhi syarat medis akan menyelematkan mereka dari kematian sia-sia.

Salah satu hak setiap warga negara dalam jaminan sosial adalah masalah kesehatan. Sebaliknya pemerintah wajib menyediakan jaminan sosial bagi warga. HIV/AIDS murni masalah kesehatan karena menyangkut virus yang menular dan menyebabkan kesakitan. Celakanya, ada saja yang selalu mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan norma, moral dan agama. Memang, cara-cara penularan HIV ada kaitannya dengan moral, tapi kecelakaan lalu lintas, penyakit-penyakit degeratif, seperti penyakit jantung, darah tinggi, diabetes, dll. juga terkait dengan perilaku yang juga bagian dari moralitas.

Dalam berita disebutkan: “Yang sudah terindikasi tertular HIV AIDS, himbauan saya biarkan mati,“ kata Bupati menjawab wartawan. Astaga, rupanya wartawan pun sama saja dengan Pak Bupati yang memakai pola berpikir pada masa 35 tahun yang lalu dalam melihat AIDS di masa sekarang. Catatan penulis wartawan pun ada yang mengidap HIV/AIDS.

Patut juga Pak Bupati dan pegawai di Pemkab Aceh Utara diajak untuk tes HIV. Nah, kita tunggu apa reaksi Pak Bupati jika ada pegawai yang terindikasi mengidap HIV/AIDS. Apakah dibiarkan saja sampai mati?

Ini data HIV/AIDS di Aceh Utara. Hingga kini tercatat 37 warga terjangkit HIV dan masih hidup. Sedangkan 21 warga lainnya sudah meninggal. Jumlah kasus HIV/Aids di Aceh Utara masih yang tertinggi di Aceh (aceh.tribunnews.com, 26/8-2016).

Atau Pak Bupati membusungkan dada dengan mengatakan: Warga Aceh Utara hidup di daerah dengan syariat Islam dan tidak ada pelacuran di Aceh Utara!

Pak Bupati benar seratus persen. Tapi:

(1) Apakah Pak Bupati bisa menjamin sama sekali tidak ada praktek perzinaan dalam bentuk pelacuran di Aceh Utara?

(2) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada laki-laki warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) di luar Aceh Utara?

(3) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan dewasa asal luar Aceh Utara atau di luar Aceh Utara?

(4) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada perempuan dewasa warga Aceh Utara yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki dewasa asal luar Aceh Utara atau di luar Aceh Utara?

(5) Apakah Pak Bupati bisa menjamin tidak ada warga Aceh Utara yang menyalahgunakan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan jarum yang dipakai bersama-sama?

Jika jawaban dari lima pertanyaan di atas salah satu saja TIDAK, maka ada warga Aceh Utara yang berisiko tertular HIV dan warga yang tertular HIV inilah yang akan menyebarkan HIV/AIDS di Aceh Utara, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Agaknya, cara berpikir Pak Bupati ini tetap berada 35 tahun yang lalu di awal epidemi HIV/AIDS ketika banyak orang hanya melihat penularan HIV/AIDS pada kalangan laki-laki gay dan PSK. Cara berpikir yang mundur empat dekade.

Padahal, HIV/AIDS di kalangan PSK justru dibawa oleh laki-laki ‘hidung belang’ yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang pejabat, pegawai, karyawan, aparat, rampok, maling, mahasiswa, copet, sopir, pilot, pelaut, wartawan, dll. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, suami kawin-kontrak, suami nikah mut’ah, dll.

Pernyataan Pak Bupati yang tidak manusiawi itu menghujat hati nurani istri-istri yang tertular HIV/AIDS dari suami, bayi dan anak-anak yang tertular HIV dari ibu mereka, dan orang-orang yang tertular HIV dari transfusi darah.

Apakah Pak Bupati memikirkan dampak buruk pernyatannya? Ternyata tidak karena pola pikir yang mundur tadi. Pernyataan ini membuktikan pemahaman Pak Bupati terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis sangat rendah: “Yang perlu kita tingkatkan (himbauan) kepada orang tuanya agar menjaga anaknya. memberi pendidikan,” kata Muhammad Thaib.

Nah, Pak Bupati rupanya tidak mengetahui kalau banyak anak-anak yang justr tertular HIV dari ibunya, sedangkan ibu mereka tertular HIV dari suami. Yang perlu dididik bukan anak-anak, tapi orang-orang tua, dalam hal ini laki-laki dewasa, agar menjaga perilaku seksnya sehingga tidak tertular HIV/AIDS.

Pemahaman Pak Bupati terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis yang sangat rendah bisa disimak dari pernyataan ybs.: Menurut bupati, menggunakan dukun beranak juga dapat menyebabkan timbulnya HIV AIDS.

Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: bagaimana cara penularan HIV/AIDS dari dukun beranak ke ibu yang melahirkan? Celakanya, wartawan hanya mengutip pernyataan bupati tanpa bertanya lebih jauh tentang pernyataan tsb.

Pemahaman wartawan yang menulis berita ini terhadap HIV/AIDS memang jeblok sampai ke titik nadir. Buktinya ini: “Kebeberadaan klinik ini diharapkan dapat membantu korban hiv aids dan dapat mencegah penyebaran penyakit mematikan tersebut.” Sampai hari ini (18/9-2016) belum ada kasus kematian karena HIV/AIDS. Kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang ada pada masa AIDS, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TBC, dll. Masa AIDS secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertula HIV. Sekarang masa AIDS tidak masalah lagi karena sudah ada obat ARV yang menekan pertambahan jumlah virus (HIV) di dalam darah.

Menurut wartawan yang menulis berita ini poin penting yang harus dilakukan adalah orang tua harus memeriksa kesehatan calon menantunya bila ingin menikahkan anaknya. “Jangan bangga pada motto,… oo…calon menanatu saya baru pulang dari Malaysia.“

Tes HIV pada calon menantu tidak jaminan si menantu selamanya akan bebas dari HIV/AIDS. Bisa saja setelah menikah si suami melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV/AIDS yaitu salah satu dari lima perilaku di atas sehingga tertular HIV. Jika ini terjadi, maka bisa saja si suami menuding istrinya yang selingkuh karena dia memegang surat keterangan ‘bebas AIDS’.

Satu hal yang luput dari perhatian Pak Bupati adalah sebelum seorang pengidap HIV/AIDS mati jika tidak ditangani sejak terdeteksi tanpa dia sadari dia menularkan HIV/AIDS kepada orang lain. Misalnya, kalau seorang laki-laki maka dia akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya. Kalau istrinya lebih dari satu, maka kian banyak perempuan dan bayi yang berisiko tertular HIV/AIDS hanya karena seruan bupati: ‘Yang Terindikasi HIV/AIDS Biarkan Mati’. *** [AIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun