Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat “Kekebalan” Hukum Bagi Pers Nasonal

14 September 2016   11:45 Diperbarui: 4 April 2017   16:34 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.migliareseconserve.com)

Yang jelas koran nasional berbahsa asing itu sekarang menghadapi gugatan perdata di pengadilan negeri. Dalam kaitan ini media itu juga bisa diseret ke pengadilan dengan hukum pidana karena melakukan perbuatan yang melawan hukum yang menimbulkan kerugian moril dan meteril. Dalambahasa Stanley seperti dia sebut dalam berita tadi: “ .... Rekomendasi inibiasanya memberikan kepada pengadu kesempatan untuk memproses kasus menggunakanUU di luar UU Pers, misalnya pidana pasal 310 atau 311.” Ini ada di KitabUndang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Pasal 310 berbunyi:“Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-“

Sedangkan pasal 311 berbunyi:“Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Hak Jawab memang mereka muat sebagai ‘sisipan’ dalam berita yang sudah mereka muat. Tapi, tentu saja cara yang dilakukan media itu sama sekali tidak bisa menghilangkan kerugian moril dan materil yang sudah dilakukan media tsb. terhadap klien pengacara tadi.

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media, Amir Effendi Siregar mengatakan, pengawasan media bukan hanya menjadi tanggung jawab Dewan Pers (media cetak dan siber) ataupun Komisi Penyiaran Indonesia (media elektronik), melainkan juga tanggung jawab publik. Persoalannya adalah tidak semua orang memahami cara-cara memakai Hak Jawab dan Hak Koreksi. Pemberitaan di ‘yellow paper’ terkait dengan kasus kehidupan pribadi di rumah tangga menjadi persoalan besar karena korban pemberitaan rakyat kecil yang tidak mempunyai akses terhadap hukum.

Selain itu tidak ada pula sanksi hukum terhadap media cetak yang tidak memuat Hak Jawab dan Hak Koreksi. Tidak jelas apakah di UU Penyiaran ada sanksi hukum yang tegas bagi media elektronik yang tidak memuat Hak Jawab dan Hak Koreksi. 

Dengan kondisi-kondisi tsb. di atas, maka dunia pers nasional menjalankan ‘free press’ (pers bebas) bukan ‘freedom of the press’ yang pada gilirannya tidak bermanfaat dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi membawa mudarat dengan korban rakyat kecil dan orag-orang yang lemah karena tidak punya akses terhadap hukum.

Selama media massa nasional berlindung di ketiak ‘lex specialis’ dengan mengabaikan asas hukum lex specialis derogat lex generalis, maka kekerasan media terhadap publik, terutama rakyat kecil yang tidak punya akses terhadap hukum, akan terus terjadi. Bahkan, kekerasan media terhadap perempuan dan korban kejahatan seksual menjadi bagian dari pemberitaan sebagai besar media yang mengabaikan moral karena mengutamakan bisnis. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun