* Konsekuensi logis bagi yang tidak mendukung akan terbaca di Pileg dan Pilpres 2019
Ketika ‘titah’ Lord Acton yaitu “power tends to currupt” (kekuasaan cenderung/berikhtiar/berhasrat untuk korupsi/tidak jujur/jahat) jadi gambaran umum pada banyak pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif di negeri ini, maka pejabat publik yang melawan ‘titah’ Lord Acton pun jadi ikon menentang kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan yang diserahkan rakyat kepada mereka.
Data di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menunjukkan kepala daerah (provinsi, kabupaten dan kota) yang tersangkut masalah keuangan yang ditangani polisi, kejaksaan dan KPK sampai 2014 mencapai 434. Yang ditangani polisi dan kejaksaan: sampai tahun 2010 ada 206, tahun 2011 tercatat 40, tahun 2012 ada 41, tahun 2013 ada 23. Sedangkan yang ditangani KPK sampai tahun 2014 tercatat 56 (kompas.com, 4/2-2015).
Dengan jumlah daerah 548, yaitu 34 provinsi, 415 kabupaten, 1 kabupaten adminstrasi, 93 kota dan 5 kota administrasi (id.wikipedia). Itu artinya jumlah daerah yang kepala daerahnya tersangkut korupsi sebesar 79,20 persen.
Dengan kondisi itu amatlah mustahil mengharapkan pelayanan terhadap masyarakat bisa maksimal. Banyak pula daerah dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang sangat kecil sehingga hanya mengandalkan dana dari pusat. Celakanya, lebih dari 50 persen Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) hanya untuk membayar gaji pegawai. Sisanya untuk pembangunan setelah ‘disaring’ dengan berbagai cara sehingga banyak pengelola keuangan daerah yang terjerat kasus penyalahgunaan wewenang dalam mengelola keuangan daerah.
Salah satu langkah yang konkret untuk menekan penyalahgunaan wewenang dalam mengelola keuangan daerah adalah melalui mekanisme online sehingga transaksi terpantau pada waktu yang bersamaan (real time), seperti penyusunan anggaran, pembayaran, penerimaan dan pelelangan. Lalu dikenallah e-budgeting, dll. Dengan online semua terkunci sehingga pembukuan tidak bisa diatur lagi setelah lewat transaksi.
Untuk APBD rincian penggunaan anggaran disebarluaskan ke masyarakat melalui pamflet atau poster yang ditempelkan sampai ke kantor rukun warga (RW). Ini langkah konkret untuk melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi penggunaan uang APBD. Inilah yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Warga Ibukota bisa melihat peruntukan dana APBD untuk wilayah RT masing-masing. Misalnya, pembelian gerobak sampah, perbaikan saluran air, dll.
“Oom, kalau Pak Ahok kagak gubernur lagi apa masih dapat ini,” kata seorang ibu di bilangan Cawang Baru, Jakarta Timur, sambil menunjukkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) cucunya. Bagi warga Jakarta KJP merupakan dukungan nyata untuk kelangsungan pendidikan anak-anak dan cucu mereka.
“Ah, kalau Pak Ahok tidak dudukung oleh PDI-P saya pindah ke partai lain,” ujar seorang warga di Cawang Kavling, Jakarta Timur. Kawasan ini terkenal ‘merah’ ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012, Pileg dan Pilpres 2014. Rupanya, warga tadi, seorang bapak, sudah merasakan kehidupan sebagai warga Jakarta sejak dipimpin oleh Jokowi-Ahok dan sekarang Ahok-Djarot.
Itu artinya partai politik (parpol) yang mengabaikan pilihan warga akan diabaikan warga pada pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) yang akan datang. Ada anggapan parpol bahwa warga memilih Jokowi-Ahok dan Jokowi-JK karena warga adalah kader dan simpatisan mereka. Ini tidak sepenuhnya benar karena ketika itu ada yang memilih Jokowi-Ahok dan Jokowi-JK karena figur bukan karena mereka kader atau simaptisan partai pengusung.