Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melarang Penduduk Daerah ke Jakarta Perbuatan Melawan Hukum dan Pelanggaran HAM

3 Juli 2016   08:46 Diperbarui: 3 Juli 2016   09:21 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: www.slideshare.net)

Wagub Djarot: Jakarta Penuh, yang Mudik Jangan Bawa Tetangga”  Ini judul berita di news.liputan6.com (3/7-2016). Ini jelas perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Jakarta adalah bagian yang terintegrasi dengan semua daerah yaitu 33 provinsi sebagai Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) sehingga tidak ada aturan yang melarang penduduk dari 33 provinsi ke Jakarta, baik untuk bekunjung, bekerja dan tinggal.

Seperti pernah diutarakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama aka. Ahok, silakan ke Jakarta dengan catatan harus mengikuti aturan. "Jakarta terbuka untuk semua. Dulu ada istilah kalau mudik terus jangan bawa orang ke Jakarta. Tapi saya bilang boleh datang ke Jakarta asal bekerja," ujar Ahok (news.liputan6.com, 15/2-2015).

Ahok benar. Lagi pula kalau tidak ada pendatang mulai dari lapisan bawah, menengah sampai atas, maka dinamika masyarakat akan jalan di tempat.

Rupanya, Pak Wagub Djarot ini tidak berkaca ke Amerika Serikat (AS) yang setiap tahun memberikan green card kepada 50.000 orang dari berbagai negara, kecuali beberap negara, melalui undian. AS melihat kedatangan orang-orang dengan berbagai latar belakang ras, pekerjaan, sifat, dll. akan mewarnai kehidupan masyarakat yang pada akhirnya mendorong dinamika kehidupan agar tidak terhenti seperti sediakala.

Kalau ada daerah, termasuk DKI Jakarta, yang membuat aturan, semacam peraturan daerah (Perda) yang melarang bukan penduduk daerah tsb. datang, itu adalah perbutan yang melaan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Di Australia, misalnya, semua pendatang dengan kapal terbang check in di Sydney dengan cap pada paspor. Untuk kota-kota lain di benua itu tidak ada lagi kewajiban lapor. Nah, ini di wilayan Indonesia dalam satu negara (NKRI) harus pakai larangan segala.

Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah hak sebagai bagian dari asas hak universal. Maka, kita sudah tidak taat asas karena semua daerah di Indonesia mewajibkan penduduk mempunyai KTP. Yang wajib adalah negara, dalam hal ini pemerintah, memberikan KTP kepada penduduk.

Disebutkan: Ketua DPP bidang Organisasi dan Pengkaderan PDIPitu menyebut bertambahnya pendatang baru di Jakarta usai lebaran setiap tahunnya, tidak dilengkapi keahlian yang mumpuni untuk mendapatkan pekerjaan.

Apakah Pak Djarot memahami realitas sosial di daerah terkait dengan kehidupan?

Di daerah nyaris tidak ada pekerjaan. Lahan pertanian menyusut. Lahan banyak dikuasai orang-orang berduit dan perusahaan. Lahan ditelantarkan. Harga komoditas pertanian rendah tidak sebanding dengan modal yang dipakai untuk mengolah lahan.

Industri ‘dipusatkan’ di Jabodetabek khususnya dan di Pulau Jawa umumnya, yang dalam bahasa Presiden Joko Widodo (Jokowi) ‘Jawa Sentris’. Di era rezim Orba alokasi dana pembangunan hampir separuh di P. Jawa, terutama DKI Jakarta sehingga pembangunan infrastruktur di luar P Jawa hanya sisa-sisa anggaran setelah dikeluarkan untuk P Jawa.

Cobalah Pak Djarot keliling ke berbagai daerah. Apa yang bisa dikerjakan penduduk di sana? Tidak ada. Hasil bumi harus diangkut ke kota dengan ongkos yang mahal. Padi dikuasai tengkulak, sementara KUD tutup mata dan ikut bermain.

Dana APBD lebih banyak untuk keperluan eksekutif dan legislatif, seperti anggaran pakaian gubernur, bupati dan walikota yang mencapai ratusan juta rupiah. Ada lagi anggaran kendaraan, perjalanan, dst. Hak rakyat ‘dirampok’ dengan cara-cara yang legal melalaui APBD.

Untunglah Ahok memakai hati nurani dengan menutup kran-kran pengeluaran dana yang tidak menyentuh rakyat dengan memberikan dana untuk kesehatan (KJS) dan pendidikan (KJP) dan kegiatan lain yang langsung menyentuh masyarakat.

Lagi-lagi Wagub Djarot memberikan pembelaan diri: "Kebanyakan yang datang tidak lulus SMA, kasihan nanti daripada jadi pengangguran."

Apakah yang tidak lulus SMA otomatis dapat pekerjaan di desa?

Tidak!

Justru di kota-kota besar tenaga, maaf, kasar dibutuhkan. Agaknya, Pak Wagub ini tidak melihat orang-orang yang menggali untuk menanam kabel listrik, telepon, gas dan air PAM. Mungkin, bagi Pak Wagug mereka itu lulusan S1 sehingga bisa kerja.

Lalu, Pak Wagub, mungkin, akan berkilah: Mereka, pendatang yang tidak punya keahlian dan menganggur di Jakarta, tidak memberikan kontribusi ke Pemprov tapi menikmati fasilitas yang ada d Jakarta.

Boleh-boleh saja Pak Wagub berkata demikian. Tapi, selama ini, apakah kontribusi daerah tidak ada yang dipakai untuk pembangunan di Jakarta? Ingar di masa rezim Orba semua dana dikumpul dan dibagi-bagi. Celakanya, pembagian dana ke daerah tidak sesuai dengan kontribusi dana yang ditarik ke pusat.

Maka, Pak Wagub bukan melarang orang datang ke Jakarta, tapi menyiapkan Jakarta sebagai kota tujuan untuk berbagai keperluan yang berjalan dengan regulasi. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun