Agaknya, efek domino gebrakan Ahok, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang memilih jalur independen atau perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) mulai merambat ke daerah.
Di Kota Jogja, DI Yogyakarta, JOINT (Jogja Independent) memfasilitasi orang per orang yang mau bertarung dalam pemilihan walikota atau Pilkada tahun 2017. JOINT yang independen akan menyaring calon secara objektif untuk memenuhi harapan masyarakat karena selama ini pemilih bak ‘membeli kucing dalam karung’.
JOINT didirikan oleh sejumlah tokoh di Jogja yang menjadi inisiator antara lain Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Dr Edy Suandi Hamid, Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas, Mantan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Rimawan Pradiptya, serta seniman dan budayawan, politikus, aktivis, dan lain-lain. Deklarasi dilakukan di bantaran Kali Code di Jetis Harjo, Yogyakarta tanggal 20/3/2016 (beritagar.id, 29/3-2016).
Kali Code merupakan landmark perjuangan rakyat, seperti yang dijalankan oleh mendiang YB Mangunwijaya yang lebih dikenal sebagai Romo Mangun melalui pemberdayaan masyarakat miskin di bantaran sungai yang membelah Kota Jogja itu.
Kegeraman banyak orang terhadap perilaku pejabat publik, antara lain korupsi, sudah sampai ke ubun-ubun. Apalagi banyak kasus korupsi yang divonis di bawah lima tahun, bahkan ada yang bebas. Paling tidak sudah ada 42 yang mengambil formulir, antara lain Sutradara Garin Nugroho, mantan duta besar, dan mantan dirut perusahaan.
Pemilih tidak ada pilihan lain karena semua calon diajukan oleh parpol. Celakanya, parpol pengusung pun cuci tangan jika pejabat yang didukungnya korupsi.
JOINT jadi wadah bagi perorangan yang ingin bertarung di Pilkada Kota Jogja. Wadah ini dimaksudkan sebagai jawaban terhadap sebagian orang yang ingin melihat calon di luar partai politik (parpol) melalui penjaringan yang terbuka dan terukur. Tentu saja parpol tidak akan bisa melakukan penjaringan secara terbuka sehingga yang dicalonkan pun tidak terukur dengan kriteria yang objektif. Parpol menetapkan calon yang maju pada pilkada menurut kriteria mereka yang sama sekali tidak dibuka ke publik.
Jumlah pejabat publik, yaitu gubernur, bupati, dan walikota yang terlibat korupsi membuat banyak orang pesimis terhadap parpol yang mendukung pejabat tersebut. (Pejabat Publik Korupsi, Nyabu, Mana Tanggung Jawab Parpol Pengusung?). Bayangkan, dari 541 daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) sampai tahun 2016 ada 360 pejabat yang terlibat korupsi (pikiran-rakyat.com, 13/3-2016). Itu artinya 66,54 persen pejabat yang terdiri atas gubernur, bupati, dan walikota terjerat kasus korupsi yang berakhir di balik terali besi.
Calon yang akan maju melalui jalur independen akan melalui seleksi JOINT semacam konvensi. Melalui presentasi yang terbuka untuk umum, para calon akan memaparkan visi dan misinya di depan juri yang berkompeten di berbagai bidang. Dengan cara ini masyarakat akan memperoleh gambaran riil tentang calon walikota karena selama ini calon-calon yang diusung parpol sama sekali tidak mencerminkan harapan ril masyarakat. Parpol menggalang massa untuk mendukung calonnya.
Bagi Dr Rimawan Pradiptya, ekonom  di Universitas Gadjah Mada (UGM) kriteria calon walikota yaitu: "Karakter yang kita harapkan dari calon walikota adalah Wani Lan Sembada. Artinya berani jujur dan terbuka. Berani melawan korupsi. Berani memihak kepentingan rakyat. Berani visioner dan berani kreatif dan berbudaya." (detiknews, 27/3-2016).
Akan jauh berbeda jika calon diusung oleh masyarakat melalui jalur independen. Pendukung tidak perlu dikomando karena semua berjalan sesuai dengan keingingan hati nurani. Jalur independen merupakan jawaban terhadap demokrasi karena memberikan pilihan atau opsi. Jika jalur independen ditutup itu sama saja dengan perbuatan yang melawan hukum dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) karena tidak ada pilihan.