Di saat penyebaran (epidemi) HIV/AIDS menjadi persoalan besar yang dihadapi semua negara di dunia, informasi HIV/AIDS yang komprehensif [KBBI: luas dan lengkap (tt ruang lingkup atau isi); mempunyai dan memperlihatkan wawasan yg luas] tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS, al. dikemas dalam berita di media massa, justru sangat sedikit.
Padahal, Thailand dengan kasus nyaris mencapai 1.000.000 di tahun 1990-an bisa menanggulangi penyebaran HIV/AIDS berkat sosialisasi informasi HIV/AIDS melalui media massa dengan skala nasional sebagai program pertama dari lima program yang dijalankan secara simultan.
Kita melihat kondisi di Indonesia. Berita di media massa, media cetak dan elektronik, sangat jarang. Berita hanya ada kalau ada kegiatan terkait AIDS, seperti Hari AIDS Sedunia, Malam Renungan AIDS, atau ada kasus yang sensasional.
Akibatnya, arus informasi ke masyarakat putus-putus sehingga banyak orang yang tidak bisa menangkap informasi yang komprehensif.
Maka, muncullah pencekalan terhadap bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS berupa penolakan dari warga setempat. Di tempat lain Odha (Orang dengan HIV/AIDS) dikucilkan, diasingkan, mendapat stigma dan diskriminasi, dll.
Kondisinya kian runyam karena bagi media massa informasi HIV/AIDS bukan berita yang ‘seksi’ dan masuk kategori tidak laku. Maka, sebagian media pun mengemas berita HIV/AIDS sebagai kisah sensasi. Akibatnya, informasi tentang HIV/AIDS pun hilang.
Berita HIV/AIDS pun banyak pula yang dibumbui denga moral sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang.Sebuah studi terhadap berita menunjukkan banyak berita yang ditulis wartawan dengan ‘baju’ moralitas dirinya (Syaiful W Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit Sinar Harapan-Ford Foundation, Jakarta, 2000). Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS. Misalnya, HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran. HIV/AIDS penyakit homoseksual, dst.
Untuk itulah perlu dijalankan jurnalisme empati. Berjalan dengan terseok-seok sehingga tidak membawa banyak perubahan sikap masyarakat terhadap HIV/AIDS dan Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Penulis menjalankan “ jurnalisme harapan” yaitu penulisan HIV/AIDS dengan perspektif harapan yaitu menyampaikan harapan bagi manusia bahwa biar pun tidak ada vaksin seseorang tetap bisa menjaga dirinya tidak akan tertular HIV/AIDS. Bagi Odha ada harapan hidup yang lebih sehat dengan meminum obat antiretroviral (ARV).
Peran serta media massa, termasuk media sosial, dalam penanggulangan HIV/AIDS sangat dibutuhkan. Masalah besar yang kita hadapai adalah: “Tanpa berita HIV/AIDS pun media tetap jalan,” kata dr Zulazmi Mamdy, staf pengajar di FKM UI. Persoalan besar, menurut dr Zul, informasi kesehatan, seperti HIV/AIDS, tidak akan sampai ke masyarakat tanpa bantuan media massa.
Tentu saja dr Zul benar karena adalah hal yang mustahil Menkes keliling Nusantara memakai TOA, misalnya, menyampaikan informasi tentang berbagai macam penyakit. Biar pun didukung oleh dinas-dinas kesehatan di provinsi, kabupaten dan kota tetap saja tidak mungkin menyampaikan informasi tentang beragam penyakit melalui keliling kampung dengan pengeras suara.
Untuk itulah beberapa Kompasianer berinisiatif untuk membentuk komunitas yang peduli terhadap penanggulangan HIV/AIDS melalui penyebaran informasi yang akurat. Komunitas yang dibentuk adalah “Kompasianer Jaringan Penulis AIDS Internasional” dengan tag: Kaji AIDS Internasional (Kompasianer International AIDS Writers Network).
“Kaji AIDS Internasional” ada di Facebook. Bagi yang berminat, silakan gabung. Komunitas ini tidak hanya bagi citizen journalist tulis, tapi juga bagi praktisi di radio dan televisi dan media umum lain. *** [Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H