Â
Dengan estimasi 668.489 kasus HIV/AIDS di Indonesia (Kemenkes, 2015) kasus yang terdeteksi sampai bulan Juni 2015 baru 26 persen yaitu 177.463 HIV 67.028 AIDS, ternyata program penanggulangan pun bias gender dan mengabaikan realitas sosial.
Iklan layanan masyarakat (ILM) di beberapa stasiun televisi nasional tentang HIV/AIDS, lebih tepat tentang tes HIV bagi ibu rumah tangga yang hamil, membuktikan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan bias gender dan mengabaikan realitas sosial terkait dengan mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Dituduh Menularkan
Anjuran tes HIV kepada ibu hamil tanpa melibatkan suami merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena mengabaikan peranan suami dalam penularan HIV kepada ibu hamil, dalam hal ini istri. Terlepas dari kemungkinan ada ibu hamil yang tertular HIV melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) atau perselingkunan, tes HIV yang hanya ‘dipaksakan’ kepada ibu hamil (baca: istri) justru menguatkan dugaan buruk terhadap ibu hamil (Lihat Gambar 1).
Hal itu terjadi karena status HIV suami tidak diketahui karena tidak mengikuti tes HIV ketika istrinya menjalani tes HIV. Kondisi itu akan bermuara pada stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dengan kondisi suami tidak tes HIV.
Di sebuah rumah singgah di Jakarta, banyak istri yang ditinggal mati suami tidak mau tes HIV karena takut dituduh mertua sebagai orang yang menularkan HIV kepada suaminya. Padahal, dengan akal sehat saja tentulah yang duluan mati yang menularkan. Tapi, fakta menunjukkan banyak mertua yang menuding bahkan menuduh istri yang menularkan HIV ke suami, sebagian besar suami itu tertular melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba.
Hal itu tentulah berdampak buruk terhadap perempuan-perempuan tsb. karena tidak diketahui status HIV mereka sehingga tidak bisa dilakukan langkah-langkah penangangan yang komprehensif. Tapi, itulah realitas sosial yang luput dari perhatian banyak kalangan. ILM itu lagi-lagi mendorong stigma dan diskriminasi yang bisa saja dialami oleh perempuan-perempuan yang ditinggal mati suami pengidap AIDS
Kalau saja program tes HIV terhadap ibu hamil tidak berpijak pada paternalistik atau patriarkat serta tidak bias gender, maka langkah pertama adalah konseling pasangan.
Jika hasil konseling pasangan menunjukkan perilaku seks suami berisiko tertular HIV, maka yang menjalani tes HIV duluan justru suami. Atau, keduanya sekaligus tes HIV. Langkah ini bisa menjadi pembelajaran bagi suami-suami agar menjaga perilaku seks sehingga tidak menjadi suami yang menularkan HIV ke istri(-istri).
Tapi, karena faktor patriarkhat yang kuat di negeri ini, maka yang jadi ‘sasaran tembak’ yang empuk adalah perempuan, dalam hal ini istri.