Terbangun dari tidur karena ingin ke belakang.
Tapi, astaga .... paha kiri sakit. Keras seperti batu. Digerakkan sakit. Badan dibalik pun sakit. Semua gerakan membuat paha kiri sakit bukan alang-kepalang. Rupanya paha kiri kram.
Jam di dinding menunjukkan pukul 01.05 dini hari (23/10-2015). Hasrat untuk buang air kecil sudah tak tertahankan, tapi badan tidak bisa digerakkan karena bergerak sedikit pun paha nyeri.
Kram itu tentu saja tidak masuk akal karena ketika jogging, dua kali sepakan masing-masing 90 menit, dan jalan kaki arah ke tempat kerja sama sekali tidak pernah mengalami kaki kram (otot tegang).
Yang pertama terjadi sebelum puasa. Betis kanan seperti batu. Ada apa? Rupanya betis kanan kram. Dipegang sangat keras seperti bau kali. Otot di paha pun jadi keras.
Dalam kondisi seperti itu hanya doa yang membantu dengan beberapa ayat. Setelah agak reda baru wuduk dan salat malam. Kram akan hilang, tapi menjelang subuh muncul lagi. Itulah yang terjadi ketika paha kiri kram.
“Bisa datang ke Cilegon, Pak?” Itulah jawaban Ajie Misbah, biasa dipanggil Pak Ajie atau Pak Misbah, yang membantu saya mengatasi serangan santet sejak sepuluh tahun yang lalu. Setelah kram yang kedua kali saya telepon Pak Misbah tentang sakit yang saya alami.
“Mudah-mudahan bisa. Setelah subuh.” Ini jawaban saya dengan penuh harap dan doa karena ketika menelepon itu paha kiri saya masih kram, tapi tidak lagi sekeras ketika kram pukul 01.15.
Masalah lain yang saya alami adalah hidung sering tersumbat tapi tidak sedang flu atau batuk. Kalau batuk atau bersin kepala nyeri seakan-akan kulit kepala terasa dicomot.
Selepas subuh paha kiri sudah tidak kram dan saya melangkah dengan bismillah menuju Cilegon. Perjalanan lancar. Pukul 08.30 saya sudah sampai di rumah Pak Misbah. Rasanya penat sekali karena sepanjang perjalanan saya takut paha kiri saya kram. Tapi, hal itu tidak terjadi hanya sesekali ada berdenyut dan kesemutan.
“Ya, yang biasa, Pak,” kata Pak Misbah tentang pengirim benda yang membuat paha kiri saya kram. Semula saya dan anak saya, putri, dijadikan tumbal oleh kerabat mantan ‘orang rumah’, tapi berkat bantuan Pak Misbah dan Bu Haji, ini di Padeglang, Banten, yang jadi tumbal justru ‘di pihak sana’. Dua orang kakak beradik mati beruntun. Mereka memelihara 'pesugihan' yang meminta 17 nyawa sebagai tumbal.