Hal yang sama bisa terjadi pada masyarakat di sekitar Waduk Jatigede, Kab Sumedang, Jawa Barat, kelak jika mereka tidak dilatih menjalani kehidupan dengan budaya air. Soalnya, tidak ada pilihan bagi penduduk selain perahu untuk menyebarang dari satu desa ke desa lain di seputar waduk.
Tentu saja rekayasa sosial sudah dijalankan sejak terjadi ganti rugi karena masyarakat yang sudah menerima ganti rugi akan mencari tempat baru untuk melanjutkan kehidupan.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah: Apakah proyek gede Waduk Jatigede menjalankan rekayasa sosial untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat yang harus hengkang dari tanah leluhurnya?
Persoalan lain adalah penduduk di waduk selama ini hidup sebagai petani, tapi ketika lahan pertanian, pekarangan dan ruma mereka digenangi air maka mereka pun harus pindah ke tempat lain yang bisa saja berbeda dengan kehidupan mereka selama ini. Sosiolog Prof Dr Hotman M. Siahaan di Unair, Surabaya, menyebut hal itu sebagai kodisi masyarakat yang tercerabut (terlepas) dari akar kehidupan mereka.
Masyarakat dipaksa meninggalkan pola hidup yang mereka jalani sejak lahir tanpa proses peralihan sehingga mereka akan gamang dalam melanjutkan kehidupan baru setelah pindah dari tempat asal.
Pola bercocok tanam di daerah leluhur mereka bisa jadi berbeda dengan daerah baru. Maka, ini pun bisa memicu konflik sosial atau mendorong urbanisasi. Celakanya, ketika mereka tiba di kota tidak ada pula yang bisa mereka lakukan. Lagi-lagi menimbulkan masalah baru. Bisa saja ada di antara mereka yang memilih jalan pintas sebagai pengemis, kriminal, dll.
Ternyata, kita adalah bangsa yang tidak mau belajar dari pengalaman. Selalu melakukan trial and error. Celakanya, korbannya adalah manusia yang menjadi bagian dari bangsa dan negara ini. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Waduk Jatigede (Repro: jabar.metrotvnews.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H