Ternyata pembiaran terhadap pulau-pulau di negeri ini sudah berlangsung lama. Akibatnya, pulau-pulau itu “diurus” oleh negara tetangga sehingga mereka berhak atas pulau itu berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional.
Itulah yang dialami oleh Indonesia dan Malaysia.
Indonesia dikalahkan Malaysia di Mahkamah Internasional atas ‘pemilikan’ Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantar Timur. Mahkamah memutuskan Malaysia sebagai pihak yang berhak atas dua pulau tsb. karena selama ini pulau tsb. diurus oleh Malaysia (2002). Putusan mahkamah itu menyesakkan, tapi pemerintah, waktu itu dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, tidak bisa berbuat banyak karena Malaysia bisa memberikan bukti nyata, sedangkan Indonesia hanya memberikan fakta berdasarkan penetapan wilayah. Mahkamah melihat fakta bahwa pulau dan masyarakatnya diurus oleh Malaysia.
Hal yang sama juga ternyata dialami oleh Malaysia ketika Mahkamah Internasional menyerahkan Pulau Pedra Branca, Malaysia menamainya sebagai Pulau Batu Puteh, kepada pemerintahan Singapura (2008). Ini akhir dari persengketaan yang dimulai tahun 1979. Celakanya, keputusan mahkamah itu tidak diterima dengan lapang dada oleh rakyat Malaysia. Hal ini menjadi ‘duri dalam daging’ pada hubungan bilateral Malaysia dan Singapura (Meredam Sengketa Kepemilikan Pulau Antara Singapura dan Malaysia).
Kalau disimak di peta, maka posisi Pulau Branca justru lebih dekat ke Tanjung Penyusop, Johor, Malaysia (7,7 mil laut) dan Tanjung Sading di Pulau Bintang, Indonesia (7,5 mil laut). Tapi, sidang Mahkamah Internasional memenangkan Singapura. Mahkamah Internasional berpegang pada kenyataan yaitu secara de facto bahwa sejak 130 tahun yl. Singapura mengoperasikan mercusuar Horsburgh di pulau karang tsb. Mercusuar adalah menara yang dibangun di pantai atau di pulau kecil di tengah laut, daerah berbatu karang, dsb, yang memancarkan sinar sebagai isyarat pada waktu malam hari untuk membantu navigasi pelayaran.
Bertolak dari dua kasus tsb., maka dikhawatirkan peristiwa pahit berupa kehilangan dua pulau akan bisa terulang lagi jika pemerintah tetap membiarkan kehidupan penduduk di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara (d/h. Kalimantan Timur). Pulau itu terbagi dua yaitu milik Indonesia dan Malaysia. Celakanya, “Warga Pulau Sebatik: Garuda di Dadaku Tapi Malaysia di Perutku.” Ini judul berita di detikNews (2/05-2015).
Biarpun “Garuda di dadaku” tentulah akan sulit mempertahkannya jika urusan perut harus tergantung kepada Malaysia. Dada tidak akan bisa berdenyut kalau perut kosong.
Selain itu roda perekonomian di Sebatik Indonesia juga “dikuasasi” Malaysia dengan fakta masyarakat Indonesia di wilayah Indonesia memakai mata urang ringgit sebagai pembayaran yang sah selain rupiah.
Mata uang ringgit tidak bisa lepas dari genggaman warga Indonesia di Sebatik Indonesia karena mereka belanja keperluan sehari-hari ke Tawau (Malaysia) bukan ke Nunukan, Kalimantan Utara.
Tentu saja langkah warga Sebatik Indonesia ironis karena jarak ke Tawau dan Nunukan hampir sama. Kedua tempat itu dijangkau dengan angkutan air.
Pulau Sebatik terbagi dua. Belahan utara seluas 187,23 km persegi merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan dengan luas 246,61 km persegi masuk ke wilayah Indonesia di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Dari luas ini 375, 52 hektare di antaranya merupakan kawasan konservasi.
Wilayah Indonesia di Pulau Sebatik hanya dihuni oleh 40.000-an penduduk yang bermukim di empat kecamatan yaitu Sebatik, Sebatik Barat, Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik Tengah. Mata pencaharian utama penduduk adalah menangkap ikan sebagai nelayan tradisional, serta berkebun kelapa sawit dan kakao.
Maka, adalah langkah yang arif dan bijaksana kalau pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dengan dukungan pemerintah pusat, membangun sarana dan prasarana bagi penduduk agar mereka tidak lagi harus menyeberang laut ke wilayah Malaysia hanya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Jika kelak Malaysia melihat peluang membawa “nasib” rakyat Sebatik Indonesia ke Mahkamah Internasional, maka dikhawatirkan Indonesia akan keok karena sudah terbukti untuk membeli sembako saja penduduk Sebatik Indonesia harus menyeberang ke Malaysia.
Apakah kita masih harus menunggu satu dua pulau lagi yang lepas ke negara tetangga agar kita serius memperhatikan nasib masyarakat di pulau-pulau (terluar)?
Tentu saja tidak. Pemerintahan Jokowi-JK sudah mulai memupus program pembangunan nasional yang selama ini memakai pola “Jawa sentris” beralih ke luar Jawa. Pembangunan jalan tol lintas Sumatera, rencana membangun rel di beberapa pulau, dll. merupakan program pemerintah yang tidak “Jawa sentris” lagi.
Tidak ada lagi alasan bagi Jokowi-JK untuk tidak membangun sarana dan prasarana fisik dan nonfisik di pulau-pulau (terluar). Hanya dengan cara inilah pulau-pulau itu bisa tetap kita miliki. Soalnya, negara-negara tetangga mulai “berbaik hati” mengurus kehidupan masyarakat di pulau-pulau yang luput dari perhatian pemerintah karena selama ini pembangunan berpijak pada “Jawa sentris” (dari berbagai sumber). *** [Syaiful W. Harahap] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H