Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Surat Terbuka untuk Bapak Presiden RI Ir H Joko Widodo tentang Penanggulangan AIDS

23 Maret 2015   10:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14270810101278316833


Perihal: Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia

Dengan hormat,

Bapak Presiden Joko ”Jokowi” Widodo Yth., sebagai warga negara saya sangat khawatir terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Soalnya, sejak kasus HIV/AIDS pertama ditetapkan pemerintah yaitu April 1987 sampai sekarang tidak ada program penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif.

Dalam kaitan itulah bersama surat ini saya berharap agar Bapak sebagai presiden dengan bantuan menteri kesehatan merancang program penanggulangan HIV/AIDS yang realistis.

Sekarang ada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dengan jaringan KPA di provinsi, kabupaten dan kota, tapi programnya juga tidak konkret dalam menanggulangi insiden penularan HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Bapak Presiden,

Selain itu program yang diusung KPA pun hanyalah yang berpijak pada moral sehingga penanggulangan hanya sebatas retorika.

Ada baiknya penanggulangan HIV/AIDS dilakukan oleh badan atau lembaga yang langsung di bawah presiden sehingga program dan pendanaan lebih efektif.

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mendesak karena secara nasional sejak April 1987 sd. Tanggal 30 September 2014 kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 206.084 yang terdiri atas 150.285 HIV dan 55.799 AIDS dengan 9.796 kematian.

Yang jadi persoalan besar adalah jumlah kasus yang dilaporkan yaitu 206.084 adalah jumlah penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Ini bukan jumlah penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang menucul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bahwa permukaan air laut.

Penduduk yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi, disebut juga dark number, menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Secara global laporan UNAIDS pada tahun 2013 diperkirakan 35,3 juta penduduk dunia hidup dengan HIV/AIDS. Dari jumlah ini 2,1 juta HIV/AIDS terdeteksi pada penduduk usia 10-19 tahun. Sejak kasus AIDS pertama terdeteksi diperkirakan 36 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit terkait AIDS. Perkiraan WHO pada tahun 2012 sekitar 2,3 juta penduduk dunia tertular HIV/AIDS.

Kasus HIV/AIDS dilaporkan dari seluruh wilayah Nusantara mulai dari Aceh sampai Papua. Bahkan, di 22 provinsi kasus HIV/AIDS ada di atas angka 1.000, sedangkan di beberapa provinsi lain kasus HIV/AIDS justru sudah mencapai belasan dan puluhan ribu.

Di kawasan Asia Indonesia merupakan negara ketiga setelah Tiongkok dan India dengan angka pertambahan kasus HIV baru yang tertinggi. Untuk itulah Bapak Presiden Joko Widodo diharapkan mengambil langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS agar tidak sampai terjadi “ledakan AIDS”.

Jika dilihat dari aspek epidemiologi, maka ada beberapa  “pintu masuk” HIV/AIDS yang sangat potensial sebagai penyebarann HIV/AIDS di Indonesia, yaitu:

(1) Melalui laki-laki dewasa heteroseks yang tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) di wilayah Indonesia atau di luar negeri.

Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyebaran HIV/AIDS pada kasus nomor (1) adalah program yang konkret untuk menurunkan insiden penularan HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Langkah konkret adalah menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Cara ini sudah terbukti sangat efektif menurunkan insiden penularan HIV baru di Thailand dengan indikator jumlah calon taruna militer yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS berkurang dari tahun ke tahun.

Risiko penularan HIV/AIDS dari PSK ke laki-laki atau sebaliknya terjadi karena banyak di antara laki-laki pelanggan PSK itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan hanya 35 persen dari 6,7 juta laki-laki pelanggan PSK yang memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK (kompas.com, 6/12-2012). Itu artinya ada 4.355.000 laki-laki pelanggan PSK yang berisko tertular HIV/AIDS. Sebagian besar yaitu 2,2 juta adalah suami. Maka, ada 2,2 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS yang pada terminal terakhir ada 2,2 juta kehamilan yang berisiko melahirkan bayi denga HIV/AIDS.

Program ini hanya bisa dilakukan dengan efektif jika pelacuran dilokalisir. Persoalan besar yang akan Bapak hadapi adalah penolakan dari segelintir orang yang membalut lidahnya dengan moral akan menolak program ini karena dianggap melegalkan pelacuran.

Pak Jokowi,

Jika praktek pelacuran tidak dilokalisir, maka upaya-upaya intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK tidak akan pernah bisa dilakukan.

(2) Melalui laki-laki dewasa heteroseks yang tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, seperti kawin-cerai, beristri lebih dari satu di wilayah Indonesia atau di luar negeri.

Dalam kaitan ini tidak ada program konkret yang bisa dijalankan karena pemerintah tidak mungkin mengawasi perilaku seks semua laki-laki terkait. Program yang bisa dijalankan di hilir yaitu melakukan tes HIV terhadap perempuan hamil.

(3) Melalui laki-laki dewasa heteroseks yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan sebagai cewek gratifikasi, yaitu cewek yang dijadikan “upeti”.

Untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS melalui cewek gratifikasi ini, maka diperlukan UU Anti Gratifiksi Seks yang mengatur gratifikasi seks sebagai tindakan korupsi dan penyuapan. Pihak yang menyodorkan cewek, germo atau mucikari, dan yang menerima cewek terkait dengan gratifikasi termasuk kategori yang dijerat dengan UU Anti Gratifikasi Seks.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS pada kondisi (1), (2) dan (3) secara vertikal dari pasangan mereka, dalam hal ini istri, kepada bayi yang dikandung istri maka diperlukan regulasi, undang-undang, yang mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV yang diawali dengan konseling pasangan.

Dalam kaitan tes HIV kepada perempuan hamil perlu regulasi yang komprehensif yaitu mewajibkan pasangan suami-istri mengikuti konseling HIV/AIDS ketika istri hamil yang dilanjutkan dengan tes HIV pasangan jika perilaku seks suami berisiko tertular HIV/AIDS.

Regulasi yang mewajibkan perempuan hamil menjalani tes HIV juga sudah tidak bisa ditunda-tunda karena berdasarkan laporan Kemenkes RI sampai 31 Desember 2013 HIV/AIDS terdeteksi pada 1.009 anak usia 0-4 tahun.

Mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil merupakan langkah konkret untuk menjalankan program pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Jika seorang perempuan hamil terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka bayi yang dikandungnya bisa diselamatkan agar tidak tertular HIV.

Agar tidak menjadi perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), maka perempuan hamil yang diwajibkan tes HIV adalah yang datang berobat atau memeriksakan kehamilan dengan di sarana kesehatan pemerintah dan dengan fasilitas pemerintah, seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), Jamkesda, surat miskin, Askes, Jamsostek dan BPJS dengan surat miskin. Artinya, ada pilihan bagi perempuan hamil yang tidak bersedia menjalani tes HIV yaitu periksa kehamilan atau berobat di sarana kesehatan swasta dan dengan dana pribadi.

Langkah lain untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui (1), (2) dan (3) adalah membuat regulasi yang mewajibkan tes HIV bagi semua pasien yang berobat ke sarana kesehatan pemerintah dengan fasilitas pemerintah, seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS), Jamkesda, surat miskin, Askes, Jamsostek dan BPJS dengan surat miskin. Artinya, bagi tidak mau tes HIV ada pilihan yaitu berobat di sarana kesehatan swasta dan dengan dana pribadi.

Kondisi nomor (1), (2) dan (3) sudah pada level darurat karena Laporan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan pada tahun 2012 di Indonesia ada 6,7 juta laki-laki yang gemar melakukan hubungan seksual dengan PSK. Dari jumlah ini 2,2 juta di antaranya adalah laki-laki yang mempunyai istri (kompas.com, 3/12-2012).

Itu artinya ada 2,2 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya karena para suami itu tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK atau dengan cewek gratifikasi seks. Dampaknya, sudah terdeteksi 6.230 ibu rumah tangga dengan kasus AIDS. Jumlah ini akan lebih besar jika ada di antara suami-suami yang mengidap HIV/AIDS mempunyai istri lebih dari satu.

(4) Melalui laki-laki dan perempuan dewasa yang tertular HIV melalui jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) secara bersama-sama dengan bergantian.

Pak Presiden,

Karena penyebaran HIV/AIDS terjadi melalui jarum suntik yang mereka pakai bersama-sama, maka program yang sudah berjalan di banyak negara adalah pertukaran jarum suntik steril. Penyalahguna narkoba diberikan jarum suntik baru agar tidak menjadi media penyebaran HIV/AIDS.

Selain itu ada pula program yang mereduksi penyebaran HIV/AIDS di kalangan penyalahguna narkoba yaitu rumatan metadon. Penyalahguna narkoba dengan jarum suntik dialihkan memakai narkoba sintetis secara oral sehingga mereka tidak lagi memakai jarum suntik. Program ini sudah berjalan di Indonesia tapi terbatas di beberapa kota besar saja. Untuk itulah Pak Jokowi sebagai presiden diharapkan meluaskan cakupan program rumatan metadon sebagai salah satu upaya memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS melalui jarum suntik pada penyalahguna narkoba.

(5) Perempuan dewasa yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di berbagai daerah di Indonesia.

Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui PSK ke suami, laki-laki ‘hidung belang’ atau pasangannya di kampung halamannya, maka diperlukan regulasi berupa kerja sama pemerintah daerah asal PSK dengan daerah-daerah tempat PSK tsb.  beroperasi.

Daerah-daerah tujuan PSK yang “menyediakan” tempat pelacuran secara rutin melakukan survailans tes HIV terhadap PSK. Jika ada PSK dari satu daerah yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka konselor dari daerah asal PSK tsb. mendampingi PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS agar kelak tidak menyebarkan HIV/AIDS di kampung halamannya.

(6) Melalui transfusi darah. Biar pun Palang Merah Indonesia (PMI) menjalankan uji saring darah donor, tapi tetap ada risiko karena skirining terhadap darah tidak akurat jika donor mendonorkan darahnya pada masa jendela. Artinya, jika ada donor yang tertular HIV/AIDS di bawah tiga bulan, maka hasil skirining darah di PMI bisa negatif, tapi negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi).

Untuk itulah PMI harus melakukan skrining awal berupa pertanyaan dalam formulir kesediaan mendonorkan darah: Kapan Anda terakhir melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan?

Jika jawaban yang diberikan di bawah tiga bulan, maka ada dua pilihan: (a) Menolak ybs. mendonorkan darah, atau (b) Tetap menerima ybs. mendonorkan darah, tapi darah tidak dipakai.

Soalnya, hasil skrining HIV terhadap darah donor yang tertular HIV di bawah tiga bulan bisa menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi tes reaktif) atau negatif palsu (HIV ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi).

Sesuai dengan pemaparan Bapak di Debat Capres II (15/6-2014 tentang upaya menurunkan angka kelahiran), maka penanggulangan HIV/AIDS, terutama di lingkungan keluarga, sekaligus dapat dilakukan dengan program keluarga berencana (KB).

Caranya adalah mendorong pasangan peserta KB memakai kondom sebagai alat kontrasepsi sehingga dengan satu langkah dua hal bisa dilakukan yaitu: (1) Mencegah kehamilan, dan (2) Mencegah penularan HIV/AIDS dari suami ke istri atau sebaliknya.

Jika penanggulangan HIV/AIDS tidak segera dilakukan, maka dana untuk membeli obat antiretroviral (ARV) akan menggerogoti APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) karena obat ini harus diminum seumur hidup oleh seorang pengidap HIV/AIDS.

Tahun 2010 saja dengan harga obat ARV Rp 360.000/bulan pemerintah menganggarkan dana APBN sebesar Rp 167 miliar. Jika kasus terus bertambah, maka dana untuk pembelian obat ARV pun akan bertambah besar pula.

Dengan langkah-langkah penanggulangan di atas diharapkan penyebaran HIV/AIDS di Indonesia bisa ditekan agar tidak terjadi “ledakan AIDS” sehingga dana APBN tidak digerogoti untuk pembelian obat ARV.

Semoga Bapak Jokowi dilindungi oleh Yang Maha Kuasa dan selalu diberikan keteguhan iman untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai presiden.

Jakarta, 20 Maret 2015

Salam,

Syaiful W. Harahap

Aktivis AIDS Bara JP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun